Ahad 21 Feb 2021 10:27 WIB

PSHK UII: Perlu Revisi Komprehensif Pasar Multitafsir UU ITE

PSHK UII memandang pilihan revisi UU ITE tidak harus berasal dari DPR.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Sejumlah pasal di UU ITE yang disarankan direvisi (ilustrasi)
Foto: republika
Sejumlah pasal di UU ITE yang disarankan direvisi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII), Allan FG Wardhana menilai, perlu revisi secara komprehensif ke pasal-pasal bermakna multitafsir dalam UU ITE. Termasuk, yang berpotensi mengekang demokrasi.

"Pemuatan norma ke suatu peraturan perundang-undangan harus dipastikan memenuhi beberapa asas, yakni asas dapat dilaksanakan dan kejelasan rumusan," kata Allan melalui pernyataan tertulis yang diterima Republika, Jumat (19/2). 

Ia menuturkan, asas itu dapat dilaksanakan menghendaki setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat. Baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

Produk hukum harus patuhi asas kejelasan rumusan yang menghendaki setiap peraturan perundangan memakai pilihan kata atau terminologi, bahasa hukum jelas dan mudah dimengerti. Sehingga, tidak menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya.

Penggunaan frasa bersifat multitafsir dalam UU ITE harus dijadikan bahan evaluasi. Sebab, dalam praktiknya menimbulkan interpretasi beragam dan membuat penerapan pasal yang bersifat kontraproduktif dengan upaya-upaya pembatasan kebebasan berekspresi.

Panduan Kapolri soal penyelesaian kasus-kasus UU ITE belum menyentuh akar masalah. Panduan Kapolri yang salah satunya mengatur ketentuan pihak yang harus melapor itu merupakan korban hanya menyentuh upaya perbaikan tataran implementasi penegakan.

"Padahal, due process of law atau proses hukum yang baik, benar dan adil melingkupi tatanan lebih luas yakni mulai dari tahapan pembentukan, proses dan penegakan hukum . Pilihan pengenaan pidana sebagai primum remedium perlu dievaluasi ulang," ujar Allan.

UU ITE, lanjut Allan, meletakkan sanksi pidana sebagai senjata utama menegakan larangan. Namun, karakter larangan dalam UU ITE tidak seluruhnya tepat dikenakan pidana, ada pasal menyangkut ranah privat seperti pasal penghinaan dan pencemaran.

"Semestinya ditempatkan dalam ranah perdata. Pilihan penyelesaian pidana di luar peradilan menjadi opsi yang menarik diterapkan. Penjatuhan sanksi pidana menjadi pilihan terakhir yang dijatuhkan (ultimum remedium)," kata Allan.

Hal ini untuk menghindari sifat sanksi pidana yang cenderung menestapakan pelaku dan berpotensi ciptakan ruang konflik lanjutan pihak yang tidak pulihkan masalah. Karenanya, PSHK UII memandang pilihan revisi UU ITE tidak harus berasal dari DPR.

"Presiden sebagai salah satu lembaga pembentuk undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945, juga berwenang untuk mengusulkan revisi terhadap UU ITE yang mendesak untuk segera dilakukan," ujar Allan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement