Kamis 25 Mar 2021 13:07 WIB

Pandemi Covid-19, Temuan Kasus Tuberkulosis di Solo Turun

Penurunan temuan diperkirakan lantaran lebih banyak fokus menangani kasus Covid-19.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Ratna Puspita
Temuan kasus Tuberkulosis (TB) di Kota Solo mengalami penurunan pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com.
Temuan kasus Tuberkulosis (TB) di Kota Solo mengalami penurunan pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Temuan kasus Tuberkulosis (TB) di Kota Solo mengalami penurunan pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan temuan kasus tersebut diperkirakan lantaran masyarakat dan tenaga kesehatan lebih banyak fokus menangani kasus Covid-19. 

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, temuan kasus TB pada 2019 sebanyak 1.803 kasus, kemudian turun pada 2020 menjadi 815 kasus. Kepala DKK Solo, Siti Wahyuningsih, mengatakan, penurunan kasus tersebut dipengaruhi oleh pandemi Covid-19. 

Baca Juga

“Masyarakat takut ke fasilitas kesehatan (faskes), baik rumah sakit dan puskesmas. Di sisi lain kader dan tenaga kesehatan dengan adanya pandemi juga takut. Tenaga kesehatan kami juga fokus pada Covid yang naik terus," jelas Siti kepada wartawan, Rabu (24/3). 

Menurutnya, meski temuan kasus TB pada 2020 turun, tidak berarti jumlah penderita juga turun. Padahal selama ini, tidak ada faskes yang tutup untuk melayani TB. Karenanya, Pemkot akan menggenjot upaya deteksi dini. 

 

"Covid sampai kapan kan tidak tahu. Kita tidak boleh terbelenggu. Apa artinya Covid terkendali tapi TB banyak. TB tidak kalah bahaya sama Covid karena penularan lewat airborne bisa terbang kemana-mana," paparnya.

Siti menyatakan, secara nasional pemerintah memang menargetkan eliminasi TB pada 2030. Sehingga, meski masih di tengah pandemi, DKK berupaya tidak hanya fokus pada penanganan Covid-19, melainkan semua program harus tetap berjalan.

"Faskes kami siap semua, obat gratis sarana prasarana siap, puskesmas siap, rumah sakit juga siap. Kami juga menggandeng klinik dan dokter praktik untuk deteksi dini. Tapi ini perlu kerja sama sektor-sektor lain di luar kesehatan," ungkap Siti.

Selama ini, lanjutnya, orang awam berpikir persoalan TB hanya masalah kesehatan. Padahal, menurutnya, masalah kesehatan hanya 20-30 persen. Justru sektor lain di luar kesehatan dinilai lebih berperan dalam deteksi dini dan menyosialisasikan tentang TB. Dia mencontohkan, dinas yang menangani perumahan bisa menciptakan perumahan sehat bebas TB dengan mendesain ventilasi udara yang tepat. 

Seluruh elemen masyarakat juga bisa mengambil peran dalam sosialisasi pencegahan TB. Misalnya, kelurahan melalui dana kelurahan, perusahaan dengan tanggung jawab sosial (CSR), serta komunitas radio menyelipkan informasi seputar TB dan jika mengalami gejala-gejala dianjurkan ke puskesmas.

"Itu edukasi-edukasi yang tidak memerlukan anggaran khusus. Semua sektor ambil peran sesuai fungsi masing-masing. Urusan pengobatan serahkan kepada kami," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement