Sabtu 10 Apr 2021 09:33 WIB

Pakar Bencana UGM: DAS di Pulau Kecil Perlu Diperhatikan

Bencana banjir bandang umumnya terjadi sangat mendadak.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Sejumlah warga memindahkan barang-barang dari puing rumahnya yang hancur akibat banjir bandang di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (7/4/2021). Warga korban banjir bandang dan tanah longsor di Flores Timur mengeluhkan minimnya alat berat dan alat bantu lainnya untuk membersihkan puing bangunan, batu, dan lumpur.
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA
Sejumlah warga memindahkan barang-barang dari puing rumahnya yang hancur akibat banjir bandang di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (7/4/2021). Warga korban banjir bandang dan tanah longsor di Flores Timur mengeluhkan minimnya alat berat dan alat bantu lainnya untuk membersihkan puing bangunan, batu, dan lumpur.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar kebencanaan UGM, Prof Suratman menilai, banjir bandang pulau-pulau kecil NTT menandakan ketahanan bentang alam dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di pulau kecil terdegradasi akibat deforestasi dan alih fungsi lahan.

Untuk itu, ia meminta pemerintah memperhatikan pengelolaan kondisi dan daya dukung DAS terhadap program pembangunan sebaran pemukiman. Tipe DAS dengan pulau kecil harus khusus penanganannya, terutama persebaran pola pemukiman.

"Indonesia perlu mulai berpikir mengelola das-das pulau kecil. Ini peringatan untuk bangsa kita, jadi banjir tidak hanya terjadi di DAS besar tapi DAS kecil pulau kecil, apalagi terjadi anomali iklim seperti sekarang bisa mengerikan," kata Suratman, Jumat (9/4).

Ia melihat, banjir bandang yang terjadi di NTT memang disebabkan jumlah curah hujan akibat anomali iklim dengan siklon tropis seroja. Namun, banjir bandang tergantung ketahanan bentang alam, kondisi hutan dan lereng di sekitar sungai.

Bila daya dukung semakin minim, maka ketangguhan sungai menahan jumlah curah hujan yang tinggi di hulu sungai tentunya menurun. Selain karena cuaca yang ekstrim, pulau-pulau kecil ini memiliki jarak lintas sungai jaraknya pendek.

"Diperkirakan sekitar empat kilometer dari hulu hingga ke laut, material vulkanik dan dataran hutannya juga ada pengurangan," ujar Suratman.

Suratman menjelaskan, bencana banjir bandang umumnya terjadi sangat mendadak. Dengan lintas sungai yang pendek ini, waktu evakuasi saat terjadi singkat walau sudah ada peringatan, apalagi jika berlangsung pada malam hari.

Menurut Suratman, masyarakat perlu membaca tanda-tanda banjir bandang dengan melihat kondisi curah hujan selama tiga hari berturut-turut. Bila tiga hari hujan berturut-turut, maka bisa berisiko banjir, sehingga harus waspada.

Untuk tingkatkan kesadaran masyarakat mengantisipasi banjir bandang dan luapan air sekitar sungai, ia mengusulkan edukasi melalui pembentukan srikandi sungai dan sekolah sungai. Ini jadi inisiator program srikandi sungai di Indonesia.

Suratman menekankan, program selama ini difokuskan kepada daerah yang memiliki DAS yang panjang dan di pulau-pulau besar. Namun, adanya kejadian banjir di pulau-pulau kecil di NTT berarti harus ada kerja sama universitas lokal.

"Lewat srikandi sungai dan sekolah sungai, kita akan membentuk relawan rakyat untuk pencegahan bencana banjir melalui kegiatan edukasi dan penyadaran, aksi konservasi, kegiatan ekonomi kreatif di sekitar sungai," kata Suratman.

Pembentukan relawan srikandi sungai dan sekolah sungai selama ini terbatas kepada daerah-daerah tertentu Indonesia. Ia berharap, ada dukungan pemerintah pusat dan daerah agar pembentukan relawan sungai tersebar di seluruh daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement