Rabu 21 Apr 2021 20:32 WIB

Survei: Pemerintah Perlu Gebrakan Tingkatkan Kepuasan Publik

Tiga opsi dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kembali tingkat kepuasan publik.

Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Maruf Amin berfoto bersama jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik dengan didampingi istri dan suami mereka di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Maruf Amin berfoto bersama jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik dengan didampingi istri dan suami mereka di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Berdasarkan survei terbaru Indonesian Presidential Studies (IPS), kepuasan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo selama enam bulan terakhir menurun 9 persen. Oleh karena itu, presiden dinilai perlu melakukan gebrakan baru untuk mendongkrak kembali tingkat kepuasan publik pada kinerja pemerintahan yang dipimpinnya.

"Gebrakan baru yang cepat, tepat, aktual dan efektif dengan aneka inovasi dan memaksimalkan potensi yang ada internal maupun eksternal pemerintahan diperlukan untuk mengatasi isu-isu yang terkait dengan ekonomi masyarakat, seperti pengangguran dan ketenagakerjaan," ujar Direktur Eksekutif IPS, Nyarwi Ahmad, dalam diskusi virtual bertema "Reshuffle Lagi di Tengah Pandemi", Rabu (21/4) sore.

Nyarwi mengungkapkan, survei terbaru tersebut dilakukan pada bulan Maret 2021 dengan metodologi multistage random sampling. Adapun jumlah responden survei tersebut sebanyak 1.200 orang dengan margin of error sebesar 2,9 persen.

Pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada itu memaparkan publik yang menyatakan puas terhadap kinerja pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin kurang dari 50 persen. "Tingkat kepuasan publik terkait dengan hal sedikit turun pada tujuh bulan terakhir, dari 49,9 persen pada September 2020 ke 47,1 persen pada Maret 2021," ujarnya.

 

Ia pun menyatakan terdapat tiga opsi yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kembali tingkat kepuasan publik kepada pemerintahan Jokowi. Yang pertama adalah mengganti menteri-menteri yang kinerjanya dianggap kurang maksimal, progresif, dan inovatif. Kedua, menata ulang komposisi menteri di kabinet pemerintahan agar berada di posisi yang tepat sehingga bisa bekerja lebih maksimal. Ketiga, menata kembali nomenklatur kementerian agar sesuai dengan kebutuhan yang menjadi prioritas agenda pemerintah Jokowi.

Terkait dengan opsi pertama dan kedua, Presiden Jokowi dapat memperkuat figur-figur di kementeriannya yang berasal dari kalangan profesional nonpartai yang memiliki kompetensi dan profesionalitas yang dapat diandalkan.

"Hasil survei IPS bulan September tahun lalu menunjukkan publik menilai golongan menteri yang berasal dari kader partai memiliki tingkat kepuasan kinerja yang relatif lebih rendah dibanding dari golongan menteri berlatar belakang profesional," kata lulusan Bournemouth University, Inggris, itu.

Terkait dengan opsi ketiga, Nyarwi mengatakan pendirian Kementerian investasi sudah sangat tepat dan dibutuhkan untuk memobilisasi investasi dan menggerakkan pertumbuhan ekonomi di masa pandemi saat ini.

Berdasarkan survei IPS, dari 38 pejabat kementerian dan lembaga negara setingkat kementerian, hanya tujuh yang mendapatkan nilai memuaskan (lebih dari 30 persen), yaitu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (51,4 persen), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (45 persen), Menteri Sosial Tri Rismaharini (41,2 persen), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (39 persen), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (37,5 persen), Menteri BUMN, Erick Thohir (33,6 persen) dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas (31,3 persen).

"Sementara tingkat kepuasan publik terhadap menteri-menteri lainnya dalam kabinet Presiden Jokowi, di luar tujuh menteri tersebut masih di bawah 30 persen," kata Nyarwi.

Sebelumnya, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, mengungkap kemungkinan reshuffle kabinet yang akan terjadi sebentar lagi. Ngabalin meminta semua pihak menunggu terkait kemungkinan perombakan kabinet tersebut.

Seperti diketahui, isu reshuffle jilid 2 muncul setelah DPR menyetujui penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Kementerian Investasi dan Teknologi (Kemenristek). Pemerintah dikabarkan juga akan membentuk Kementerian Investasi.

Sementara itu, ekonom INDEF Bhima Yudhistira menyayangkan kenapa kementerian yang dikorbankan justru Kemenristek. Padahal, menurut dia, riset adalah salah satu faktor pemulihan ekonomi. "Seharusnya fokus pemerintah itu adalah mendorong belanja riset," kata alumnus Bradford University yang juga menjadi panelis dalam diskusi tersebut.

Ia memaparkan, belanja riset Indonesia berdasarkan data World Bank sangat jauh tertinggal, yakni hanya 0,3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah Korea Selatan (4,04 persen dari PDB), Jepang (3,4 persen dari PDB), dan Amerika Serikat (2,8 persen dari PDB)

Jumlah peneliti Indonesia pun masih sangat sedikit, yakni 216 orang per 1 juta penduduk. Angka ini masih jauh di bawah Korea Selatan (7.980 orang per 1 juta), Jepang (5.331 orang per 1 juta), dan Jerman (5.211 orang per 1 juta).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement