Sabtu 22 May 2021 18:46 WIB

Harkitnas, Intelektual Ajak Masyarakat Sipil Kawal Demokrasi

Dimas mengingatkan, pemerintah jangan sampai melukai komitmen kebebasan sipil.

Pemateri dan peserta dialog kebangsaan yang digelar oleh Perkumpulan Kader Bangsa secara daring, Jumat (21/5).
Foto: Dok
Pemateri dan peserta dialog kebangsaan yang digelar oleh Perkumpulan Kader Bangsa secara daring, Jumat (21/5).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Momentum Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei 2021, dan 23 tahun usai reformasi, sejumlah tokoh intelektual dan aktivis dari Provinsi Aceh hingga Papua berkumpul dalam dialog kebangsaan yang digelar oleh Perkumpulan Kader Bangsa secara daring, Jumat (21/5).

Ketua Perkumpulan Kader Bangsa Dimas Oky Nugroho mengingatkan, pentingnya kohesivitas bangsa dalam menghadapi pandemi dan krisis. Pada situasi pandemi Covid-19, sambung dia, semua negara berupaya mencari formula untuk bersatu menghadapi dan melewati situasi krisis.

"Tekanan diubah menjadi opportunity. Penting untuk para pemimpin menemukan formula yang tepat dan baik untuk konteks Indonesia," ujar pengajar Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), Kota Surabaya tersebut saat membuka diskusi.

Hanya saja, Dimas menegaskan, formula soliditas politik yang dijalankan pemerintah untuk menghadapi pandemi dan krisis, jangan sampai melukai komitmen demokratisasi dan kebebasan sipil. Secara jernih, kata dia, bangsa Indonesia memiliki banyak peluang kreatif untuk mendapatkan jalan kebangkitan.

Antara lain, dengan cara konsolidasi kebangsaan dan penguatan relasi negara dan masyarakat sipil untuk menemukan titik temu konsensual pembangunan ekonomi politik ke depan.

"Kita memasuki sebuah zaman bergerak, transformasi, era ekonomi dan politik lama menuju era ekonomi dan politik baru. Mustahil bisa maju dan sejahtera, jika gagal menemukan formula yang mempersatukan seluruh entitas kekuatan nasional," kata Dimas.

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias menyoroti kecenderungan penurunan demokrasi sebagai respon negara menghadapi pandemi Covid-19. Hal itu ditandai, antara lain ancaman atas kebebasan berpendapat.

"Berdasarkan sejumlah indikator terjadi penurunan pada lima tahun terakhir. Pada tahun 2021 indeks kebebasan sipil Indonesia hanya mendapatkan skor 5,59. Catatan kita, penanganan terhadap situasi dan danpak pandemi Covid-19 mengambil cara yang cenderung sentralistik, antara lain terlihat saat kontroversi penyusunan undang-undang Cipta Kerja," jelas Bayu.

Pengajar FISIP Unair, Airlangga Pribadi menilai, publik harus kritis dalam menyoroti berbagai kebijakan dalam situasi pandemi Covid-19. Dia mengajak publiks waspada dengan momentum pemerintah, khususnya terkait manuver kepentingan dari kelompok ekonomi politik dominan.

"Menjadikan krisis ini untuk memperkuat akumulasi kemakmuran dan cengkeraman kekuasaan. Hal itu kita nilai dari gejala kriminalisasi, pelemahan demokrasi, dan upaya pelemahan KPK," kata Airlangga.

Hadir pula sebagai pemateri pengajar Universitas Malikussaleh Teuku Kemal Fasya, akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Firly Annisa, pakar kebijakan publik dan reformasi birokrasi Yogi Suprayogi Sugandi, pakar pertanian dari Universitas Amal İlmiah Yapis Wamena Bhaskara Anggarda, dan pengajar komunikasi publik Universitas Udayana Ni Made Ras Amanda, serta pengajar Universitas Nusa Nipa Maumere Jonas Gobang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement