Kamis 17 Jun 2021 16:17 WIB

Kekerasan kepada Anak Meningkat Selama Pandemi

Perilaku anak selama pandemi sebagian besar merasa bosan di rumah.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Ilustrasi Kekerasan Anak
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan Anak

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII), dr Soeroyo Machfudz mengatakan, kekerasan ke anak naik selama pandemi. Kesiapan orang tua menjadi salah satu penyebab mereka tanpa sadar melakukan kekerasan.

Ia mengingatkan, kekerasan kepada anak berdampak sampai remaja, bahkan bisa sebabkan kemerosotan ahlak. Data Penetapan Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana (PPSKTDB), kekerasan kepada anak awalnya turun awal pandemi.

"Namun, kejenuhan dan tuntutan kerja pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kekerasan," kata Soeroyo dalam seminar yang diselenggarakan UII, Kamis (17/6).

Perilaku anak selama pandemi sebagian besar merasa bosan di rumah. School from home membuat mereka mengkhawatirkan pelajaran sampai ekonomi keluarga. Soeroyo menilai, walaupun mereka tidak membicarakannya, tapi bukan berarti tidak tahu.

"Kebanyakan korban kekerasan merasa takut melapor karena kurang informasi untuk mengadu. Akses mengadu rasanya sulit dijangkau semua lapisan sosial," ujar Soeroyo.

Faktor utama penyebab kekerasan kepada anak tidak jauh dari persoalan ekonomi dan kematangan dari kepribadian orang tua. Hal yang paling penting spiritual, rasa syukur yang dirasakan orang tua, serta hubungan yang baik dengan tuhan.

Anak-anak yang mengalami kekerasan biasanya bersikap tertutup dan mudah marah. Tidak jarang memiliki kepribadian kasar, aktivitas di sekolah biasanya menurun atau buruk. Gejala lain yang muncul merupakan rasa takut yang tidak biasa.

"Kita sebagai orang tua harus memantau pertemanan anak-anak karena pergaulan dengan orang yang terindikasi kekerasan juga berdampak buruk," kata Soeroyo.

Dosen FKKMK Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Retno Sutomo menilai, kekerasan kepada anak selama pandemi memiliki tren baru lewat cyberbullying. Ia merasa, penggunaan media sosial turut meningkatkan resiko terjadinya cyberbullying.

Hal itu didukung data yang menunjukkan penggunaan sosial media atau gawai tidak digunakan untuk belajar. Rasa stres yang sudah terpupuk sejak dini, saat dewasa beresiko lebih terkena hipertensi, penyakit jantung dan gangguan pencernaan.

"Seorang anak perekam, peniru lingkungan sekitar. Saat seorang anak dibesarkan dengan motivasi, toleransi dan penerimaan dia akan tumbuh jadi pribadi percaya diri serta menghargai," ujar Retno.

Psikiatri RSUP dr Sardjito, dr Budi Pratiti menerangkan, kekerasan kepada anak ada berbagai macam, tidak hanya dipukul atau fisik. Kekerasan bisa juga secara fisik tapi tidak langsung dengan pemberian hukuman disiplin yang berlebihan.

Gangguan mental kepada anak bisa juga terjadi karena kekerasan psikis atau ada istilah emotional abuse. Ia mengingatkan, sikap seperti meremehkan, pencemaran, menakuti hingga menertawakan bisa berdampak negatif kepada mental seorang anak.

"Fase anak merupakan fase bermain. Selama pandemi orang tua bisa mengajak anak bermain di taman bermain dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan," kata Pratiti. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement