Senin 02 Aug 2021 12:14 WIB

Dosen Unair Ciptakan Alat Deteksi Dini Penyakit Degeneratif

Kadar asam sialat dalam serum penderita kanker umumnya lebih tinggi.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Muhammad Fakhruddin
Dosen Unair Ciptakan Alat Deteksi Dini Penyakit Degeneratif (ilustrasi).
Foto: picpedia.org
Dosen Unair Ciptakan Alat Deteksi Dini Penyakit Degeneratif (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Dosen Universitas Airlangga (Unair) yang tergabung dalam Grup Riset Sensor dan Teknologi Lingkungan mengembangkan sensor fotometrik berbasis nanopartikel logam untuk mendeteksi penyakit degeneratif. Penyakit yang bisa dideteksi alat tersebut di antaranya kanker dan diabetes.

Ganden Supriyanto sebagai ketua Group mengatakan, banyak hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa kadar asam sialat dalam serum penderita kanker umumnya lebih tinggi dari pada kadar asam sialat dalam serum orang normal. Kenaikan tersebut dijumpai pada berbagai jenis kanker.

"Antara lain melanoma ganas, kanker payudara, kanker ovarium, kanker mulut rahim, kanker saluran urogenital, kanker saluran pencernaan, kanker paru, kanker hati, kanker urea, dan leukemia,” kata Ganden, Senin (2/8).

Dari beberapa penelitian, kata Ganden, terungkap pula kenaikan kadar asam sialat pada serum sejalan dengan tingkat keparahan kanker dan besarnya tumor. Kadar asam sialat yang tinggi pada serum penderita kanker dapat dimanfaatkan sebagai salah satu signal akan adanya kanker pada tubuh seseorang. 

“Oleh karena itu asam sialat sangat potensial sebagai biomarker penyakit kanker. Biomarker penyakit degeneratif bisa dihasilkan di dalam tubuh pada serum darah, saliva, urin, dan gas buang nafas,” ujarnya.

Ganden menerangkan, reaksi nanopartikel perak-kitosan dengan asam sialat pada pH 6 menghasilkan puncak serapan pada panjang gelombang 563 nm (nanometer). Sensor fotometrik yang dikembangkan mampu mendeteksi asam sialat dalam rentang konsentrasi 0,007 sampai 0,57 miliMolar (mM) dengan limit deteksi 0,009 mM.

“Nilai akurasi dan presisi sensor berturut-turut adalah 93,35 hingga 101,47 persen dan 2,27 hingga 6,63 persen. Metode ini juga telah berhasil diujikan untuk analisis asam sialat dalam sampel serum darah dengan persen recovery adalah 98,84 – 105,2 persen,“ kata dia.

Ganden menuturkan, grup riset yang dipimpinnya juga mengembangkan deteksi dini diabetes dengan biomarker aseton dalam gas buang nafas. Biomarker ikonik untuk diabetes umumnya adalah glukosa darah, metil glioksal dan HbA1c.

Beberapa hasil penelitian, ujarnya, mengungkapkan bahwa kadar aseton dalam gas buang nafas penderita diabetes umumnya lebih tinggi yaitu sebesar (126±30) ppbv (bagian per miliar volume) sedangkan pada orang normal sebesar (28±4) ppbv. Selain itu, kenaikan kadar aseton dilaporkan berbanding lurus dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah.

“Kadar aseton rata-rata dalam urin penderita diabetes sebesar 555,6 mg/L (miligram per liter) sedangkan kadar aseton rata-rata pada orang normal hanya 20 mg/dL (miligram per desiliter). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa aseton dapat digunakan sebagai biomarker dalam deteksi penyakit diabetes,” kata dia.

Ganden menjelaskan, reaksi nanopartikel perak-L-sistein dengan aseton pada pH 5 menghasilkan puncak serapan pada panjang gelombang 585 nm. Sensor fotometrik yang dikembangkan mampu mendeteksi aseton dalam rentang konsentrasi 0 sampai 8 mg/L dengan limit deteksi 0,6 mg/L. Nilai akurasi dan presisi sensor berturut-turut adalah 93,21 hingga 104,85 persen dan 2,74 hingga 3,82 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement