Rabu 08 Sep 2021 15:43 WIB

KPK Ungkap Lima Modus Korupsi Kepala Daerah

Sebanyak 82,3 persen biaya politik kepala daerah, berasal dari donatur.

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Yusuf Assidiq
Kepala daerah korupsi (ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Kepala daerah korupsi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PURBALINGGA -- Pemerintah Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, menggelar rapat koordinasi (rakor) mengenai masalah pencegahan dan pemberantasan korupsi, Rabu (8/9). Rakor menghadirkan  Direktur Koordinasi Supervisi III Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Pol Bahtiar Ujang Purnama dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai pembicara kunci secara virtual.

Selain dihadiri Bupati Dyah Hayuning Pratiwi dan Wabup Soedono, rakor juga dihadiri para pimpinan OPD di Pemkab Purbalingga. Direktur Koordinasi Supervisi III Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Pol Bahtiar Ujang Purnama, dalam kesempatan itu  mengingatkan ada lima modus operasi korupsi yang kerap dilakukan para  kepala daerah.

''Kelima modus korupsi itu sering dilakukan para kepala daerah, antara lain karena besarnya biaya politik yang dikeluarkan bupati dan wakil bupati selama masa pencalonan,'' katanya.

Hasil penelitian litbang KPK 2017 menyebutkan, sebanyak  82,3 persen biaya politik yang dikeluarkan kepala daerah, berasal dari donatur.  Namun, bantuan yang diberikan para donatur ini,  bukannya tanpa imbalan. ''Ada kepentingan tertentu dari para donatur, di balik pemberian bantuan dana ke calon kepala daerah,'' jelasnya.

Bahtiar mengaku, masalah besar-kecilnya biaya politik yang harus dikeluarkan, memang terserah para calon kepala daerah. ''Tapi alangkah lebih baiknya bila masalah biaya politik ini dimenej dan diminimalisir. Karena kalau  biaya politik yang dikeluarkan semakin besar, pasti akan muncul pemikiran korupsi agar biaya politik yang dikeluarkan bisa kembali,'' ujar dia.

Dari pemantauan KPK, kata Bahtiar, kelima modus korupsi yang dilakukan kepala daerah, antara lain dengan memanipulasi penerimaan daerah dalam bentuk  pajak daerah dan retribusi, pendapatan daerah dari pemerintah pusat dan kerja sama dari pihak ketiga.

Demikian juga dalam hanya belanja daerah, objek yang rawan menjadi lahan korupsi antara lain dalam hal pengadaan barang dan jasa, penempatan dan pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah/bansos/program, penempatan modal Pemda di BUMD, dan pengelolaan aset.

''Dalam soal  pengadaan barang dan jasa, silakan cek kembali. Terkadang ‘itu-itu saja’, atau benderanya beda tapi orangnya (pemenang lelang) masih ‘itu-itu saja’, karena sudah jadi mafia barang dan jasa. Ini sudah kita analisis, baik di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah,'' katanya.

Modus ketiga, ungkap Bahtiar, terkait dalam hal rotasi/mutasi/promosi jajaran birokrasi dan rangkap jabatan. Modus keempat, menyangkut masalah  perizinan seperti  rekomendasi, penerbitan perizinan, dan pemerasan.  

Serta modus kelima, berupa penyalahgunaan wewenang misalnya pengangkatan dan penempatan jabatan pada orang dekat, pemerasan rotasi/mutasi/promosi, dan gratifikasi yang dilarang.

''Saya menyoroti pengangkatan jabatan/rekrutmen di daerah. Misalnya dalam hal rekrutmen pegawai non PNS yang digaji oleh APBD. Kita sering mempertanyakan, apakah jumlah pegawai ini  proporsional sesuai analisis kebutuhan tugas masing-masing? Kami menilai, rekrutmennya seringkali asal-asalan. Mohon masalah rekrutmen ini diperhatikan kembali jangan sampai menjadi bumerang,'' katanya.

Demikian juga dalam hal promosi jabatan. Bahtiar menegaskan, selama ini seringkali ditemukan adanya praktik tawar menawar ‘tarif’. Menurutnya, dengan adanya ‘tarif jual beli jabatan', maka pejabat yang terpilih seringkali memanfaatkan jabatannya untuk menutupi uang tarif yang sudah dikeluarkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement