Kamis 09 Sep 2021 08:46 WIB

Lili Pintauli Diminta Mundur atau Diberhentikan tak Hormat

Hukuman yang diberikan tidak sebanding pelanggaran berat yang diperbuatnya.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar berada dalam Mobil usai Sidang Etik di Jakarta, Senin (30/8/2021). Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar karena penyalahgunaan jabatan berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Foto: Antara/Reno Esnir
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar berada dalam Mobil usai Sidang Etik di Jakarta, Senin (30/8/2021). Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar karena penyalahgunaan jabatan berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Pelanggaran Kode Etik oleh Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, baru-baru ini menjadi sorotan publik. Sebab, putusan Dewan Pengawas KPK hanya memberikan Lili hukuman pemotongan gaji pokok sebanyak 40 persen.

Hal itu tidak sebanding dengan kategori pelanggaran berat yang ada dalam pertimbangan hukumnya. Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Iwan Satriawan mengatakan, ada kontradiksi dengan putusan Dewas KPK tersebut.

Sebab, menurut dia, yang diberikan kepada Lili bukan hukuman berat sehingga membuat publik kecewa. Jika yang dilakukan Lili merupakan pelanggaran berat, publik tentu saja membayangkan hukuman berat, bukan cuma pemotongan 40 persen gaji pokok 12 bulan.

"Dan, dia masih bisa menjalankan tugas dan fungsi-fungsi, hal itu bukan bagian dari hukuman atas pelanggaran yang berat," kata Iwan, Senin (6/9).

Ada dua pelanggaran kode etik yang dilakukan Lili. Melanggar kode etik karena berhubungan dengan orang-orang yang sedang terkena perkara melakukan korupsi, dan juga menggunakan kekuasaan untuk menekan orang lain untuk membantu saudaranya.

Hukuman yang diberikan tidak sebanding pelanggaran berat yang diperbuatnya. Maka itu, Iwan setuju dengan banyak LSM dan pengawas KPK yang berpendapat hukuman Dewas KPK kepada Lili seharusnya diberi hukuman yang berat agar memberikan efek jera.

"Karena KPK bukan lembaga sembarangan, karena itu hukumannya harusnya dipecat dari posisi komisioner. Untuk posisi lembaga penting seperti itu, hal tersebut jangan diberikan toleransi terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan," ujar Iwan.

Iwan berpendapat, apa yang dilakukan Lili bukan lagi satu pelanggaran. Karenanya, KPK sebagai lembaga negara yang sangat penting juga harus dijaga marwahnya dengan baik, dan Lili sebaiknya tidak lagi ditempatkan sebagai komisioner KPK.

Jika Lili tetap bertahan di KPK dengan diberi hukuman potongan gaji, masyarakat akan semakin tidak percaya KPK. Bahkan, sekarang saja masyarakat tidak percaya KPK dengan kasus sebelumnya yang melibatkan Ketua KPK dan dengan ada revisi UU KPK.

"Itu saja sudah membuat masyarakat tidak percaya lagi dengan KPK," kata Iwan.

Polemik lain dari kasus Lili ini bahkan banyak komisioner yang mundur dari KPK karena merasa sudah tidak memiliki kebanggaan dengan lembaga tersebut. Iwan khawatir, ke depannya akan lebih banyak orang mengampanyekan pembubaran KPK.

"Cara untuk mencegah dengan memperbaiki, salah satunya jika ada yang melakukan pelanggaran berat dihentikan dengan tidak hormat," ujar Iwan.

Iwan menilai, Dewas KPK seharusnya benar-benar menjaga marwah KPK dengan memberi hukuman yang lebih keras. Jika tidak, ada sikap yang lebih bijak dari Lili untuk mundur dari KPK, yang dipraktikkan negara-negara maju seperti Jepang dan Korsel.

Hal itu dilakukan jika ada pejabat negara yang melakukan pelanggaran seperti ini. Mereka secara sadar mengundurkan diri untuk kebaikannya, dan itu merupakan salah satu sikap bertanggung jawab seorang pejabat negara atas kesalahan yang dilakukan.

"Perlu ada tradisi pertanggungjawaban politik politisi yang mengangkat mereka untuk menyampaikan permintaan maaf ke publik karena telah salah memilih orang," kata Iwan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement