Rabu 29 Sep 2021 17:56 WIB

Revisi UU Pajak Momentum Memutus Persoalan Perpajakan

Ada tiga persoalan besar dalam perpajakan di Indonesia.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Membayar pajak (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Membayar pajak (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Managing Partner Danny Darussalam Tax Center, Darussalam mengatakan, revisi UU Perpajakan perlu karena jadi momentum memutus persoalan perpajakan di Indonesia. Ini turut menjadi langkah reformasi pajak selaras teori dan praktik.

Ia turut melihat ini salah satu jalan membantu pemulihan ekonomi, langkah untuk konsolidasi fiskal, dan menuju disiplin defisit anggaran tiga persen pada 2023. Darussalam menekankan, ada tiga persoalan besar dalam perpajakan di Indonesia.

Pada 2020, tax ratio Indonesia hanya sebesar 8,94 persen, menempatkan Indonesia di urutan tiga terendah Asia Pasifik. Tax Buoyancy satu dekade 0,83 persen, dan potensi pajak pada 2019 untuk pribadi sebanyak 58 persen yang belum didapatkan.

"Persoalan yang terakhir, sejak 2009 target penerimaan pajak tidak pernah tercapai," kata Darussalam dalam National Conference on Accounting and Finance (NCAF) yang diselenggarakan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rabu (29/9).

Darussalam menekankan, tax ratio sebesar 15 persen jadi acuan Indonesia untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Merujuk IMF Medium Term Revenue Strategy Indonesia (2018), ada dua bentuk reformasi pajak, administrasi dan kebijakan.

Ada instrumen pajak yang dapat dicoba saat pandemi yaitu pajak solidaritas. Ini merupakan pungutan tambahan yang bisa berupa subjek, objek, dan/atau tarif baru di luar ketentuan pajak yang sudah ada. Tarifnya 2,5-15 persen dari pendapatan.

Ini merupakan jenis pajak sementara untuk mengatasi persoalan bangsa. Di AS, ketika Perang Dunia I dan II dicoba memakai instrumen ini untuk biayai perang, sehingga ini mungkin bisa menjadi salah satu opsi yang bagus untuk Indonesia.

"Yang jauh lebih penting kepastian hukum pajak. Apa insentif dibutuhkan? Itu dibutuhkan karena menunjang kepercayaan investor saat mau melakukan investasi. Ketika kita melakukan reformasi pajak itu yang harus dibenahi terlebih dulu," ujar Darussalam.

Owner Margaria Group, Herry Zudianto mengingatkan, negara memang menguasai kemampuan pembangunan. Namun, jangan sampai kebijakan menaikan penerimaan pajak berdampak negatif ke proses pemulihan ekonomi yang dalam momentum bangkit.

Herry merasa, pemerintah memang sudah hadir lewat kebijakan insentif pajak saat pandemi. Tapi, pelaksanaannya kurang optimal karena kerap ganti kebijakan, infonya kurang masif dan syarat-syarat membingungkan, atau memberatkan Wajib Pajak (WP).

Ia menyarankan, ada hotline bagi pegiat usaha. Herry melihat, kesulitan utama pegiat usaha tidak lain likuiditas, sehingga berakibat ke penundaan pembayaran pajak. Lalu, penghapusan denda penundaan kewajiban pajak terutang saat pandemi.

Herry juga melihat pemberlakuan PPN memberatkan usahanya karena margin sangat tipis dan tidak masuk akal. Sebab, di sisi lain, pelaku usaha memang harus mempertahankan harga jual agar tetap bersaing secara daring dan luring.

"Bagi sektor perdagangan retail seharusnya bukan dikenakan PPN, namun pajak penjualan final sekian persen. Hal ini akan mempermudah pengusaha untuk menghitung pajaknya dan meningkatkan ketaatan pembayaran pajak," kata Herry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement