Jumat 01 Oct 2021 10:49 WIB

'Indonesia Bisa Tertinggal dalam Hal Tata Kelola yang Baik'

TWK dicurigai jadi alat menjatuhkan pegawai yang jadi penggerak pemberantasan korupsi

Sejumlah mantan pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangasaan berkumpul bersama perwakilan Koalisi Masyarakat Anti Korupsi saat pelepasan di Jakarta, Kamis (30/9). Sebanyak 57 pegawai KPK yang tidak lolos TWK resmi diberhentikan kerja mulai Kamis (30/9). Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika
Sejumlah mantan pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangasaan berkumpul bersama perwakilan Koalisi Masyarakat Anti Korupsi saat pelepasan di Jakarta, Kamis (30/9). Sebanyak 57 pegawai KPK yang tidak lolos TWK resmi diberhentikan kerja mulai Kamis (30/9). Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) Andre Rahadian mengingatkan, Indonesia bisa tertinggal dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik jika terjadi inkonsistensi atau pertentangan antar lembaga pemerintahan. Saat ini, berdasarkan laporan Transparency International Indonesia (TII) Indeks Persepsi Korupsi 2020  mencapai skor 37, turun tiga poin dari tahun sebelumnya. 

Salah satu yang menjadi sorotan masyarakat sipil saat ini adalah masalah pemberhentian 58 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) per 30 September 2021.  

"Menurut analisis dari tim kami di Policy Center Iluni UI, hal ini dapat menjauhkan Indonesia dari tata kelola pemerintahan yang baik. KPK telah menjadi simbol perlawanan kepada korupsi, membangun pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Bahkan secara umum KPK menggelorakan semangat kejujuran, dengan slogannya ‘Jujur itu Hebat’," kata Andre melalui keterangan tertulis kepada media, Jumat (1/10).

Lebih lanjut, Andre mengatakan pemecatan karyawan KPK berpotensi menguatkan dugaan yang berkembang di publik bahwa pemecatan tersebut adalah kehendak segelintir elite atau oligarki yang terganggu dengan sepak terjang KPK. TWK dicurigai hanya alat untuk menjatuhkan karyawan KPK yang menjadi penggerak pemberantasan korupsi. 

Kecurigaan tersebut diperkuat dengan tawaran dari Kapolri untuk merekrut para karyawan KPK yang telah diberhentikan tersebut sebagai ASN Polri. "Ini semua dapat menguatkan kecurigaan yang berkembang di kalangan penggerak masyarakat sipil atas tuduhan radikal kepada mereka hanyalah stigma yang diikuti dengan TWK dan dijadikan alasan pembenaran untuk mengeluarkan mereka dari KPK," ujarnya.

Andre menegaskan, seharusnya fokus utama saat ini adalah melawan korupsi yang membawa ancaman besar kepada kondisi perekonomian bangsa. "Salah satu musuh bersama kita adalah korupsi. Korupsi merusak pemerintahan dan berdampak kepada terhambatnya penciptaan kesejahteraan untuk rakyat. Korupsi juga merusak iklim bisnis dan membuat investor enggan untuk berinvestasi," kata Andre.

Sekjen ILUNI UI Bachtiar Firdaus menambahkan, pemberhentian pegawai KPK dengan alasan tidak lulus TWK harus menjadi perhatian Komnas HAM dan Ombudsman. KemenPanRB dan pimpinan KPK harus memperhatikan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM. 

"Kita ketahui dalam rekomendasi komnas HAM ada temuan 11 bentuk pelanggaran HAM dalam proses TWK,  bahkan presiden juga sudah angkat bicara terkait hal ini dan meminta agar TWK tidak dijadikan dasar pemberhentian," kata Bachtiar.

Sebagaimana diketahui, KPK resmi memberhentikan pegawai yang tidak lulus TWK. Sebanyak 56 pegawai akan diberhentikan secara hormat dan 1 pegawai purnatugas per tanggal 30 September 2021. Awalnya, pegawai KPK yang tidak lulus TWK total berjumlah 75 orang. Namun, 18 orang di antaranya telah lulus pelatihan dan akhirnya diangkat jadi ASN. Sayangnya, proses dan pelaksanaan TWK dinilai bermasalah dan mengundang beragam pertanyaan. Dua lembaga, Ombudsman RI dan Komnas HAM, juga menyatakan keberatan atas TWK. Ombudsman RI menemukan adanya maladministrasi dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN. Sementara, Komnas HAM menyimpulkan adanya pelanggaran HAM dalam kasus alih status 75 pegawai KPK.

Per 28 September, berbagai kalangan masyarakat sipil telah menyatakan sikap untuk menolak pemberhentian tetap 56 orang pegawai dan penetapan purnakerja 1 orang pegawai yang tidak lolos TWK. Bahkan, kalangan masyarakat sipil telah menyelenggarakan aksi pendirian kantor darurat antikorupsi. 

Selaras dengan hal ini, Andre pun menegaskan komitmen Iluni UI untuk mendorong dan mengawal penegakan hak asasi manusia bagi institusi formal di Indonesia. "Sebagai bagian dari masyarakat sipil, Iluni UI akan selalu bersama-sama gerakan masyarakat sipil dan setia pada prinsip-prinsip humanisme dan good corporate governance yang berlaku secara universal. Bahkan dalam satu tahun kedepan, Iluni UI juga akan menggerakkan program kohesi kebangsaan untuk kebangkitan Indonesia setelah pandemi ini," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement