Ahad 10 Oct 2021 08:55 WIB

Paguyuban Lurah Sleman Sayangkan Putusan MK

Seleksi yang sudah dilaksanakan selama ini telah menghabiskan biaya yang tak sedikit.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Paguyuban Lurah Sleman menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang muncul satu pekan sebelum undian nomor urut. Padahal, semua tahapan dari Pemilihan Lurah di Sleman sudah dilaksanakan.

Penasihat Paguyuban Lurah Manikmoyo Sleman, Sismantoro, menilai, jika putusan itu dikeluarkan sejak awal, calon-calon lurah tentu tidak akan mencalonkan. Apalagi, calon-calon lurah, terutama petahana, memiliki dasar dan sudah mendapatkan izin Bupati Sleman untuk mencalonkan diri.

Maka dari itu, ia berpendapat, putusan MK yang dikeluarkan jauh setelah tahapan-tahapan Pemilihan Lurah selesai dilaksanakan, sebaiknya diabaikan saja. Jika terus dilaksanakan, Sismantoro melihat, tidak adil bagi calon-calon tersebut.

"Saya mohon Ngarso Dalem, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X membuat kebijakan politik terkait teman-teman lurah yang mencalonkan diri ini kalau putusan MK ini tidak tepat," kata Sismantoro kepada Republika, Sabtu (9/10).

Sismantoro menekankan, jika putusan itu ada sejak awal dan izin Bupati Sleman tidak dikeluarkan, tentu tidak akan ada masalah dan lurah-lurah bisa menerima. Ia merasa, kondisi ini jika diteruskan cuma merugikan negara dan masyarakat.

Sebab, semua tahapan seleksi Pemilihan Lurah yang sudah dilaksanakan selama ini jelas menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, kalurahan-kalurahan yang calonnya tersisa satu mau tidak mau harus menunda kembali Pemilihan Lurah.

"Yang rugi masyarakat lagi, tidak ada lurah definitif, siapapun yang mengisi, dia tidak akan bisa melaksanakan kebijakan-kebijakan terkait kearifan lokal," ujar Sismantoro.

Terlebih, terkait UU Nomor 6 Tahun 2014 yang diharapkan dapat mengadopsi ada yang selama ini menjadi harapan masyarakat sesuai asal-usul desa setempat. Sebab, ia menekankan, asal-usul dari masing-masing kalurahan tidak sama.

Bahkan, ia mengingatkan, Bali saja yang bukan merupakan daerah istimewa mampu membuat regulasi yang memberikan kewenangan membuat kebijakan sesuai kearifan lokal. Sedangkan, Sleman ada di provinsi yang jelas-jelas daerah istimewa.

Maka dari itu, Sismantoro menyarankan, sebaiknya putusan MK itu tidak dilaksanakan untuk Pemilihan Lurah di Sleman tahun ini. Ia menegaskan, ketika putusan MK dipaksakan diterapkan dalam waktu singkat tidak adil bagi teman-teman lurah.

"Yang mana, teman-teman lurah ini sudah mengikuti proses Pemilihan Lurah, semua tahapan dari awal sampai sekarang. Makanya, saya mohon Pak Gubernur DIY membuat kebijakan politik untuk mengayomi teman-teman lurah," kata Sismantoro.

Sismantoro menilai, putusan MK seharusnya mampu mengadopsi semua kepentingan. Sedangkan, jika putusan ini dipaksakan, tujuh calon lurah tidak bisa mengikuti Pemilihan Lurah dan dua kalurahan harus menunda, justru hanya akan merugikan.

Seperti pertandingan sepak bola, ia berpendapat, Pemilihan Lurah di Sleman tahun ini sudah sampai babak perpanjangan karena sudah dilakukan penundaan. Karenanya, cuma akan merugikan jika muncul putusan tiba-tiba seperti ini.

"Waktu itu ditunda dua bulan karena ada situasi dan kondisi pandemi, oke, tapi setelah semua tahapan dilalui tiba-tiba muncul putusan MK seperti ini, jelas ini sangat merugikan dan tidak adil bagi masyarakat," ujar Sismantoro.

Sebelumnya, sebanyak tujuh orang calon lurah dari total 113 calon gagal terjun dalam kontestasi Pemilihan Lurah (Pilur) di Kabupaten Sleman, 31 Oktober 2021. Hal itu merupakan buntut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan batas maksimal jabatan Kepala Desa tiga periode. 

Data Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kalurahan (DPMK) Sleman menyebutkan, tujuh calon lurah yang gagal ikut kontestasi itu antara lain Senaja (Kalurahan Sumberarum); Imindi Kasmiyanta (Maguwoharjo); Sardjono (Sendangtirto), Sukarja (Madurejo); Nur Widayati (Selomartani); Suhardjono (Margomulyo); dan Hadjid Badawi (Kalurahan Sendangagung).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement