Rabu 13 Oct 2021 06:02 WIB

Dosen UMM Tegaskan Urgensi Cyber Security di Dunia Digital

Salah satu yang paling sering terjadi adalah kebocoran data pribadi.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Dosen UMM Tegaskan Urgensi Cyber Security di Dunia Digital. Ilustrasi data pribadi
Foto: Pikist
Dosen UMM Tegaskan Urgensi Cyber Security di Dunia Digital. Ilustrasi data pribadi

REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Bak pisau bermata dua, kemajuan teknologi tidak hanya menyediakan kemudahan dan manfaat semata. Namun lebih dari itu juga memberikan bahaya bagi para penggunanya. 

Jika tidak waspada serta berhati-hati, tidak menutup kemungkinan masyarakat bisa menjadi korban dari cyber crime. Hal ini bisa terjadi mulai dari penggunaan akun media sosial palsu hingga kebocoran data yang beberapa kali terjadi belakangan.

Wakil Kepala Laboratorium Informatika Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Syaifuddin, menerangkan, teknologi dan internet kini sudah menyatu dengan kehidupan manusia. Hal ini bisa dilihat mulai dari paket data, hingga kebutuhan belanja yang kini bisa dilakukan dengan daring. "Maka sudah barang tentu, keamanan siber juga otomatis menjadi salah satu aspek penting," katanya.

Dosen Informatika UMM itu menambahkan ada beragam kejahatan siber yang bisa ditemui. Salah satu yang paling sering terjadi adalah kebocoran data pribadi. Hal ini bisa terjadi, baik yang tersebar karena kelalaian personal maupun akibat peretasan yang dilakukan oknum pada instansi pemilik data terkait. 

 

Fenomena kebocoran ini tentu memiliki beragam data. Beberapa di antaranya seperti nama, alamat, nama ibu kandung, dan nomor telepon genggam. Bahkan, juga mengenai data preferensi pengguna yang ada di aplikasi.

Syaifuddin mengatakan alamat email dan nomor telepon genggam adalah data yang seringkali tersebar. Padahal, kedua data tersebut sangat berharga karena bisa digunakan untuk memasarkan produk. 

Salah satu contoh akibat dari situasi tersebut, yakni pesan singkat yang biasa masyarakat terima dari nomor-nomor tidak dikenal. Foto KTP juga seringkali dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggungjawab untuk mengajukan pinjaman online (pinjol). 

Selain itu, penggunaan VPN juga termasuk kegiatan sederhana yang ternyata berisiko. Hal ini telah dibuktikan dalam hasil studi keamanan data yang ia peroleh. Dari 300 penyedia VPN, 38 persen di antaranya terdapat advertising, adware, dan malware. Kemudian adapula sekitar 84 persen yang membocorkan trafik data penggunanya ke pihak lain. Begitupun ada sekitar 18 persen dari mereka yang tidak memiliki enkripsi.

Ia mengingatkan kepada masyarakat bahwa data yang belum dianggap penting saat ini bisa jadi akan sangat menguntungkan di kemudian hari. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kesadaran diri untuk berhati-hati dalam mengisi berbagai formulir. “Kita tidak tahu data-data yang sudah kita isi di aplikasi atau bahkan google form tersebut akan aman atau tidak. Mungkin saja penyedia formulir itu akan menyebarkannya dan memberikan kerugian bagi pemilik data,” jelasnya.

Syaifuddin menilai, terjadinya kasus kejahatan siber tidak lepas dari renggangnya peraturan dan regulasi di Indonesia. Jika dibandingkan dengan wilayah lain yakni Uni Eropa, mereka memiliki peraturan general data protection regulation (GDPR) yang memiliki kekuatan yang bagus. Banyak developer yang takut dijatuhi hukuman ketika data yang mereka kumpulkan bocor ke pihak lain.

Menurutnya, regulasi tersebut cukup efektif dengan menjatuhkan hukuman denda dengan nilai yang setimpal, bahkan bagi perusahaan yang besar sekalipun. Hal itu bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia karena belum ada regulasi tegas yang mengatur mengenai hal-hal seperti ini.

Tidak adanya peraturan terkait hal itu membuat para developer aplikasi pemerintah maupun swasta bisa lepas tangan jika data-data yang diperoleh bocor. Oleh karena itu, Syaifuddin menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) menjadi hal yang mendesak. "Sehingga jika kasus serupa terjadi lagi, sudah ada regulasi dan hukuman pasti bagi para pengembang yang lalai," ucapnya dalam keterangan pers yang diterima Republika, Selasa (12/10).

Syaifudin berharap akan adanya sinergisitas antara masyarakat, pengembang, instansi serta pemerintah dalam menanggulangi kasus kejahatan siber. Paling tidak, pemerintah bisa mempercepat pengesahan peraturan yang jelas. Kemudian juga dengan memberikan arahan-arahan serta sosialisasi demi memperkecil ancaman kejahatan siber yang mengintai. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement