Kamis 04 Nov 2021 07:27 WIB

Luhut: Perpres akan Percepat Pengurangan Emisi

Presiden Jokowi menandatangani Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Rep: Febryan. A/ Red: Ratna Puspita
Menurut Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon akan membuat Indonesia semakin mudah mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
Foto: pixabay
Menurut Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon akan membuat Indonesia semakin mudah mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja menandatangani Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang di dalamnya mengatur pasar karbon. Menurut Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, kehadiran ketentuan pasar karbon ini akan membuat Indonesia semakin mudah mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). 

"Dengan adanya ketentuan tentang carbon pricing, maka hal ini akan semakin mempermudah pencapaian NDC Indonesia," kata Luhut dalam panel diskusi di Paviliun Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11), sebagaimana dikutip dari siaran pers Kementerian LHK. 

Baca Juga

Nationally Determined Contribution (NDC) adalah dokumen yang memuat upaya negara dalam mengurangi emisi GRK dan menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim. NDC Indonesia menargetkan pengurangan emisi GRK sebanyak 41 persen pada 2030, dengan bantuan dunia internasional. 

Selain itu, Indonesia juga berkomitmen mencapai nol-bersih emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat, seperti tercantum dalam dokumen Long-Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). 

Luhut menyebut, Perpres Nilai Ekonomi Karbon bisa menggerakkan lebih banyak pembiayaan dan investasi hijau yang berdampak pada pengurangan emisi GRK. Perpres ini mengatur sejumlah mekanisme perdagangan karbon. 

Mulai dari mekanisme antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade; pengimbangan emisi melalui skema carbon off set; pembayaran berbasis kinerja (result based payment); pungutan atas karbon; hingga kombinasi dari skema yang ada. 

Secara sederhana, perdagangan karbon adalah praktik jual beli kredit karbon. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi karbon dioksida sebanyak 1 ton. Penjualnya adalah negara berkembang yang memiliki hutan yang luas yang berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida. Pembeli kredit karbon biasanya negara maju atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon melewati ambang batas. 

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Laksmi Dewanthi, juga meyakini bahwa pasar karbon dapat menjadi insentif untuk mencapai target NDC. "Carbon pricing diharapkan mendukung instrumen lain yang juga dilakukan seperti pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi, atau transisi teknologi untuk mewujudkan energi baru terbarukan," ujarnya. 

Laksmi menjelaskan, Perpres Nilai Ekonomi Karbon ditujukan untuk pasar domestik maupun internasional. Jika perdagangan karbon terjadi antara dua entitas di dalam negeri, maka perhitungan pengurangan emisi GRK yang dicapai akan tetap diperhitungkan sebagai kontribusi Indonesia. 

Adanya regulasi pasar karbon membuka peluang Indonesia untuk menerima pendanaan yang lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim. Jokowi diketahui meneken Perpres Nilai Ekonomi Karbon pada 29 Oktober 2021, tepat sebelum bertolak menuju Glasgow untuk menghadiri Konferensi Perubahan Iklim COP26. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement