Kamis 04 Nov 2021 16:46 WIB

'Kentongan' Dioptimalkan untuk Peringatan Dini Kebencanaan

pengadaan peralatan EWS dengan beragam teknologinya bukan persoalan mudah.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Mas Alamil Huda
Perajin menyelesaikan pembuatan Kentongan bambu di Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. Perajin Kentongan yang memulai berproduksi sejak sebulan terakhir mengaku terinspirasi program gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menghidupkan kembali kearifan lokal yaitu Kentongan sebagai alat penanda bencana dan kejahatan pencurian.
Foto: ANTARA /ANIS EFIZUDIN/
Perajin menyelesaikan pembuatan Kentongan bambu di Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. Perajin Kentongan yang memulai berproduksi sejak sebulan terakhir mengaku terinspirasi program gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menghidupkan kembali kearifan lokal yaitu Kentongan sebagai alat penanda bencana dan kejahatan pencurian.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Keberadaan alat Early Warning System (EWS) atau sistem peringatan dini dari bahaya bencana alam sangat membantu langkah-langkah mitigasi kebencanaan. Terlebih di tengah besarnya potensi bencana alam akibat dampak fenomena La Nina.

Yang menjadi masalah, pengadaan peralatan EWS dengan beragam teknologinya bukan menjadi persoalan yang mudah. Karena harga satuannya yang terbilang masih cukup mahal bagi ukuraan kemampuan keuangan daerah.

Baca Juga

Sehingga, alternatif untuk mengoptimalkan sistem peringatan dini dari ancaman bencana alam pun diupayakan. Seperti yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Semarang guna menghadapi tingginya risiko bencana alam jelang penghujung tahun 2021 ini.

Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) BPBD Kabupaten Semarang, Heru Subroto, mengungkapkan, untuk alat sistem peringatan dini di Kabupaten Semarang saat ini telah dipasang lima. Khususnya untuk mendukung mitigasi bencana tanah longsor.

Namun dengan harga yang tidak murah, hingga ratusan juta rupiah, tentunya membuat kemampuan daerah untuk memperbanyak belum bisa dilakukan. Namun dalam sosialisasi, BPBD selalu menekankan kepada masyarakat untuk memanfaatkan berbagai peralatan peringatan dini berbasis kearifan lokal, misalnya 'kentongan'.

“Sejak dahulu kentongan sudah menjadi salah satu alat komunikasi maupun alat tradisional yang digunakan untuk menyebarluaskan peringatan dini kepada masyarakat dalam satu lingkungan," kata dia, Kamis (4/11).

Saat ini kentongan pun juga masih efektif jika dioptimalkan sebagai salah satu alat peringatan dini karena bunyi kentongan cukup khas. “Kalau bunyi sirene bisa dari apa saja, namun kalau bunyi kentongan tetap khas,” lanjutnya.

Cara tersebut juga untuk menyiasati sistem peringatan dini berbasis teknologi yang masih terbatas. Maka ada baiknya pemanfaatan kentongan dioptimalkan lagi sebagai tanda atau peringatan dini dalam mengantisipasi kebencanaan.

Heru juga menyebut, beberapa EWS berteknologi pun dalam beberapa kasus juga tidak bisa efektif. Misalnya saat terjadi gempa dan tsunami, saluran listrik akan diputuskan.,Di satu sisi teknologi EWS ada yang bergantung pada listrik baru bisa berfungsi.

“Oleh karena itu, kami minta kepada masyarakat untuk mengoptimalkan kembali peralatan tradisional seperti kentongan bagi sistem peringatan dini kebencanaan, di tengah-tengah masyarakat,’ tegasnya.

Masih terkait dengan peralatan EWS, lanjutnya, pada saat terjadi gempa bumi tektonik di wilayah Ambarawa dan sekitarnya, BMKG Stasiun Geografi Banjarnegara memang sempat melakukan kajian dengan memasang alat EWS di wilayah Desa Asinan, Kecamatan Bawen.

Pemasangan tersebut sifatnya hanya sementara untuk kebutuhan assesmen dan kajian terhadap wilayah kerawanan gempa bumi yang terjadi. “Namun hasil dari kajian serta penelitian itu nantinya akan dilaporkan dan kemungkinan akan berguna untuk menyiapkan titik- titik pemasangan EWS kegempaan di masa yang akan datang,” tandasnya.

Kapolres Semarang, AKBP Yovan Fatika HA, menambahkan, dalam konteks peringatan dini dan kecepatan informasi kebencanaan, jajaran Polres Semarang telah menyiapkan sistem peringatan dengan mengacu pada informasi BMKG. Satgas dari tingkat bhabinkamtibmas, babinsa, perangkat desa, sampai pemangku lingkungan (RT/RW), diminta untuk memberikan informasi secepat mungkin dan edukasi seluas mungkin kepada masyarakat.

“Baik itu tentang bagaimana menangani dan menghadapi dampak dari bencana alam yang terjadi di lingkungan mereka masing- masing,” tambah Kapolres Semarang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement