Senin 08 Nov 2021 13:57 WIB

Perguruan Tinggi Perlu Responsif Hadapi Megatrend 2045

Dalam praktik mahasiswa dan pengabdian masyarakat harus ada semangat berubah.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
The 1st International Conference on Practicum and Community Service in Education (Icopcose).
Foto: Dokumen
The 1st International Conference on Practicum and Community Service in Education (Icopcose).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Megatrend 2045 meliputi demografi dunia, urbanisasi global, kemajuan teknologi, persaingan SDA, dan perubahan iklim, termasuk 17 item SDGs. Tapi, 4.0 di Indonesia sudah berdampak pada 23 juta pekerjaan hilang diganti otomatisasi 2030.

Dirjen Dikti Kemendikbudristek, Nizam mengingatkan, di satu sisi sudah terbuka 27-46 juta pekerjaan baru. Untuk itu, perguruan tinggi perlu mempersiapkan keterampilan dan kompetensi untuk menghadapi dunia yang belum dikenal.

Dunia industri belum mengetahui apa yang akan terjadi lima tahun ke depan. Maka itu, perguruan tinggi perlu merespons dengan lebih adaptif, mengarahkan diri ke literasi digital, kewirausahaan, dan multidisiplin dalam pembelajaran abad 21.

Tantangan perguruan tinggi tidak lain mengatasi missing link antara pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Apalagi, Indonesia kini memiliki 4.593 pendidikan tinggi dengan 29.413 program studi, 312.890 dosen, dan 8.483.213 mahasiswa.

"Kami memastikan tidak ada missing link antara apa yang diajarkan di perguruan tinggi dengan perkembangan dan kebutuhan dunia kerja," kata Nizam dalam The 1st International Conference on Practicum and Community Service in Education (Icopcose).

Jadi, perguruan tinggi perlu menggandeng industri. Mahasiswa diberi kesempatan satu semester belajar mata kuliah lintas prodi, dua semester dapat meningkatkan kemampuan melalui pengalaman pembelajaran dari industri atau dunia kerja lain.

Kemendikbudristek sendiri mencanangkan Kampus Merdeka dengan sembilan kegiatan luar kampus. Seperti pertukaran mahasiswa, magang, bantuan mengajar, bantuan riset, pemberdayaan masyarakat, micro credential independent project, kewirausahaan.

Kemudian, ada aktivitas kemanusiaan dan kompi cadangan. Jadi, perguruan tinggi perlu akselerasi kolaborasi dengan dunia usaha, komunitas, keuangan, pemerintah, termasuk media untuk membawa kompetensi dunia kerja profesional bagi mahasiswa.

Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerja Sama UNY, Prof Siswantoyo menerangkan, dalam praktik mahasiswa dan pengabdian masyarakat harus ada semangat berubah. Tentunya, dengan kreativitas dan inovasi untuk dapat menyelesaikan misinya.

Implementasinya, menggunakan model integrasi antara KKN, praktik kependidikan, praktik industri, magang, dan riset tugas akhir. Hal ini akan berpengaruh kepada indikator kinerja utama universitas dan berefek terhadap keberlanjutan program.

Siswantoyo mencontohkan, kegiatan KKN yang berlangsung selama satu semester bisa mendorong terciptanya kerja sama dengan pemda-pemda setempat maupun sekolah untuk keberlangsungannya dan dapat lebih berdampak kepada universitas.

Untuk itu, ia menekankan, mahasiswa memang perlu dibekali kerangka pembelajaran dengan keterampilan hidup dan karir. Kemudian, dibekali keterampilan inovasi dan pembelajaran serta keterampilan terkait media informasi dan teknologi informasi.

"Mahasiswa juga harus memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif dan komunikatif," ujar Siswantoyo.

Prof Christine Ure dari Faculty of Arts and Education, Deakin University, turut mengingatkan, untuk masa mendatang fokus akan kepada praktikum pendidikan guru. Setelah pandemi, lulusan guru perlu bekal ketanggapan atas isu jangka panjang.

Sebab, megatrend butuh bekal lulusan guru adaptif untuk berubah. Ure menyarankan kepada perguruan tinggi menggandeng aliansi sekolah dalam praktik pembelajaran, guru sekolah mengajarkan praktik mengajar dan dosen memberikan ilmu mengajar. "Sedangkan, mahasiswa berperan sebagai orang baru," kata Ure.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement