Selasa 09 Nov 2021 17:34 WIB

Menyelam Suasana Kota dalam Karya Ternama

Masyarakat dapat mengetahui Belitung ternyata termasuk geopark di Indonesia.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Menyelam Suasana Kota dalam Karya Ternama (ilustrasi).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Menyelam Suasana Kota dalam Karya Ternama (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Untuk merasakan suasana daerah tertentu termasuk Kota Malang tidak selalu harus dengan datang langsung ke lokasi. Beberapa sudah cukup bisa merasakannya melalui karya-karya, baik novel, cerpen, puisi, film maupun lagu.

Dosen sastra dari Universitas Ma Chung, Wawan Eko Yulianto mengatakan, menghadirkan kota dalam sebuah karya sastra tidak hanya memunculkan dampak secara makna maupun kenangan. "Tapi yang paling penting lagi adalah dampaknya ini terasa secara ekonomi," kata Wawan dalam kegiatan diskusi daring, beberapa waktu lalu.

Penulis novel Andrea Hirata misalnya, dia bisa menggambarkan kehidupan anak-anak yang sangat mengasyikkan ketika di Belitung. Penggambaran ini membuat orang-orang tertarik untuk lebih mengenal tempat yang ditinggali oleh anak-anak di novel Laskar Pelangi. Pada akhirnya, masyarakat dapat mengetahui Belitung ternyata termasuk geopark di Indonesia.

Dari sini, Wawan menilai, keberadaan novel karya Andrea Hirata tersebut terbukti memiliki peranan besar untuk kehidupan masyarakat Belitung. Dengan disertai usaha pemerintah lokal, Belitung kini termasuk wilayah yang diminati untuk para wisatawan. Artinya, dampak ekonomi juga ikut dirasakan oleh masyarakat setempat.

Selain Laskar Pelangi, ada pula novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Novel yang populer pada era 2004an ini membuat masyarakat tahu tentang kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir. Melalui novel ini, pembaca juga dapat mengetahui bahwa Mesir tidak hanya diisi oleh orang Arab, Afrika Utara, orang beragama Muslim tapi juga bangsa dan agama lainnya. 

"Dan itu semua dileburkan dlm novel. Penulis dalam karyanya memberikan pemahaman berbeda dari sebuah kota. Jadi begitu yang dilakukan novelis itu, ketika dia berhasil menghadirkan sebuah kota dalam karyanya," ucapnya.

Lalu sebenarnya sudah ada belum penggambaran Kota Malang dalam karya sastra Indonesia? Menurut Wawan, novel Lemah Tanjung karya Ratna Indraswari Ibrahim termasuk salah satu karya yang menghadirkan Kota Malang di dalam cerita. Novel ini menceritakan permalasahan tukar guling lahan yang terjadi di Kota Malang. Lebih tepatnya, mengisahkan satu keluarga yang berusaha mempertahankan lahan milik keluarga dari satu kelompok. Pertentangan kedua kelompok ini juga melibatkan aktivis mahasiswa. 

Pada umumnya, penulis Ratna Indraswari Ibrahim banyak menulis karya sastra dengan latar kawasan Malang Raya. Tak terkecuali kisah mengenai kebun-kebun kopi di wilayah Malang Selatan. "Cerita Ratna sangat menggambarkan Kota Malang dan berbagai persoalan agraria di sana," 

Yang kedua, terdapat novel Pengalamanku di Daerah Pertempuran Malang Selatan karya Roswita T. Djajadiningrat. Wawan menyatakan, di salah satu cerita dalam novel Supernova juga sempat menghadirkan Kota Malang. Begitupun dengan salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono. 

Di samping itu, Wawan juga menyebutkan, sejumlah karya sastra yang ikut menampilkan latar Kota Malang selama lima tahun terakhir. Karya-karya tersebut antara lain Aloer-Aloer Merah dari Ardi Wina Saputra pada 2017 dan Janji Pelangi dari Fakhrul Khakim. Kemudian novel Tamu Kota Seoul dari Yusri Fajar dan Tahu Bulat Tanda Kiamat karya Abdul Mukhid.

Kisah-kisah di Aloer-Aloer Merah pada umumnya dilatari sejarah yang sebagian terjadi di Kota Malang. "Ada satu cerpen tentang jam terakhir sebelum Malang bumi hangus. Itu terjadi ketika masa revolusi, pascaproklamasi," ucapnya.

Dengan menghadirkan kota dalam sebuah cerita, Wawan tak menampik, ada keuntungan dan kerugiannya juga. Pada aspek keuntungan di masa kini, pembaca bisa mencari gambar kota dari bacaan yang dia nikmati dari internet. Menurut Wawan, cara ini bisa memaksimalkan imajinasi pembaca sehingga semakin terikat dengan bacaannya.

Keuntungan kedua, karena setiap kota mempunyai nilai sejarah, maka ini menjadi nilai tersendiri. Ketika nilai ini hadir di sebuah karya, maka makna cerita akan berlapis. Dalam hal ini, pembaca tidak hanya fokus pada masalah percintaan tapi juga aspek-aspek lain di kota tersebut. 

"Misal, ketika kita mencoba menghubungkan bahwa 'Loh ini kan terjadi di Surabaya, Surabaya terkenal dengan pertempuran 1945. Kok karakternya ini penakut?' Nah, akhirnya ini jadi pertanyaan pertentangan sehingga muncul makna baru," jelasnya.

Di samping itu, pemunculan kota juga bisa menimbulkan kerugian untuk pembaca. Lebih utamanya pembaca yang belum akrab dengan kota yang digambarkan penulis. Jika ini terjadi, maka pembaca tidak akan merasa terlibat di dalam kisah yang dibaca. Apalagi jika penulis tidak menyertakan informasi yang mencukupi tentang kota dalam karyanya.

"Kedua, kalau penulis tujuannya hanya menghadirkan kota, hanya ingin mempromosikan kotanya. Maka, yang terjadi adalah bisa jadi kota hanya tempelan. Tidak mempengaruhi cerita sama sekali. Kalau sudah tempelan, berarti dipindah ke kota lain pun, cerita ini bisa masih bisa berjalan, padahal tidak semestinya seperti itu," ungkapnya.

Selain karya sastra, Malang juga dijadikan dalam bentuk film, lagu, siaran radio dan sebagainya. Namun yang lebih ditonjolkan dalam karya-karya tersebut, yakni bahasa Walikan. Bahasa ini merupakan ciri khas dari Malang di mana tata katanya mengalami proses pembalikan.

Dosen Ilmu Linguistik dari Universitas Negeri Malang (UM), Nurenzia Yannuar mengungkapkan, penggunaan bahasa Walikan sempat dihadirkan dalam dialog di film "Yo Wis Ben" pada 2018 lalu. Kemudian bahasa ini juga dimunculkan dalam acara televisi "Kowal Kawil". "Lalu di radio Senaputra 104.1 FM, itu ada acara talkshow Nge-Ledom, maksudnya jadi model, being stylish," kata dia menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement