Ahad 21 Nov 2021 17:47 WIB

Serikat Buruh DIY Minta UMP dan UMK Direvisi

Upah minimum yang ditetapkan tidak memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL).

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Upah buruh dan pekerja. ilustrasi
Upah buruh dan pekerja. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Serikat buruh di DIY menolak besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 yang sudah ditetapkan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Serikat buruh di DIY menolak meskipun UMP 2022 yang ditetapkan naik sebesar 4,30 persen dibanding UMP 2021.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Irsad Ade Irawan mengatakan, pihaknya meminta Sultan untuk merevisi penetapan UMP tersebut. Termasuk merevisi penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang juga sudah ditetapkan beberapa hari lalu.

"Kami menolak penetapan UMP dan UMK yang telah ditetapkan Pak Gubernur. Kami mendesak gubernur untuk merevisi, masih ada kesempatan karena kami belum menerima SK yang ditandatangani gubernur, maka harapannya itu segera direvisi," kata Irsad kepada Republika.co.id, Ahad (21/11).

Irsad menegaskan, buruh maupun pekerja di DIY tidak puas dengan penetapan UMP dan UMK. Hal ini dikarenakan upah minimum yang ditetapkan tidak memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL).  

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh KSPSI di 2021 ini, KHL mencapai Rp 2,9 sampai Rp 3 juta. Sementara, besaran UMP 2022 yang ditetapkan hanya sebesar Rp 1.840.915,53 atau naik Rp 75.915,53 dibandingkan UMP 2021.

Artinya, pekerja dan buruh di DIY mengalami defisit. Bahkan, defisit ini, kata Irsad, sudah terjadi bertahun-tahun terutama sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

"Kalau tidak direvisi itu bisa menciptakan suatu suasana Yogyakarta yang berkabung, dimana banyak buruh yang merasa kecewa dan kemudian tidak puas dengan besaran upah minimum yang ditetapkan," ujar Irsad.

Terkait dengan UMK 2022 di masing-masing kabupaten/kota, persentase kenaikan tertinggi ditetapkan di Kabupaten Gunungkidul yakni 7,34 persen. UMK Gunungkidul ditetapkan Rp 1.900.000 atau naik sebesar Rp 130 ribu.

Disusul dengan Kabupaten Kulon Progo yang naik sebesar 5,50 persen dengan besaran Rp 1.904.275 atau naik Rp 99.275. UMK di Kabupaten Sleman naik 5,12 persen dengan besaran Rp 2.001.000 atau naik Rp 97.500.

Selain itu, UMK Kota Yogyakarta ditetapkan naik 4,08 persen menjadi Rp 2.153.970 atau naik dari tahun sebelumnya sebesar Rp 84.440. Terakhir, kenaikan persentase UMK Kabupaten Bantul sebesar 4,04 persen dengan besaran Rp 1.916.848 atau naik Rp 74.388.

Dari besaran UMK di kabupaten/kota, terlihat bahwa kenaikan berdasarkan persentase tertinggi di Gunungkidul. Namun, besaran UMK masih tertinggi di Kota Yogyakarta.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Aria Nugrahadi mengatakan, tingginya persentase UMK di Gunungkidul dibandingkan Kota Yogyakarta menunjukkan adanya penurunan kesenjangan besaran upah di dua wilayah tersebut. "Disparitasnya atau kesenjangan pengupahannya dari tahun lalu ke tahun ini itu turun 15,2 persen," kata Aria.

Aria menjelaskan, besan UMK kabupaten/kota se-DIY jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya di wilayah perbatasan provinsi yakni Jawa Tengah, juga mempunyai potensi penurunan kesenjangan besaran upah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

Hal itu dinilai sesuai dengan semangat dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Dalam peraturan tersebut, salah satunya untuk mengurangi kesenjangan besaran upah dan mewujudkan keadilan antar wilayah.

"Sehingga, diharapkan semangatnya adalah mengurangi disparitas dan mewujudkan pengupahan berkeadilan, makanya Gunungkidul (persentasenya) naik tinggi," jelas Aria.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement