Senin 22 Nov 2021 16:32 WIB

Disnaker DIY Sebut UMP Sesuai Rekomendasi Dewan Pengupahan

Rendahnya upah minimum melanggar hak konstitusional buruh sebagai warga negara.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Muhammad Fakhruddin
Disnaker DIY Sebut UMP Sesuai Rekomendasi Dewan Pengupahan (ilustrasi).
Foto: republika/mgrol100
Disnaker DIY Sebut UMP Sesuai Rekomendasi Dewan Pengupahan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Aria Nugrahadi mengatakan, penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sudah berdasarkan sidang Dewan Pengupahan DIY dan Kabupaten/Kota.

Hal ini disampaikan Aria menyusul penolakan besaran UMP dan UMK oleh serikat pekerja dalam hal ini Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY.

"Dewan Pengupahan DIY (dan kabupaten/kota) sudah melakukan tugasnya untuk merekomendasikan berdasarkan regulasi PP Nomor 36 Tahun 2021," kata Aria kepada Republika melalui sambungan telepon, Senin (22/11).

Dalam sidang dewan pengupahan, kata Aria, sudah terdapat masukan dari berbagai unsur sebelum merekomendasikan besaran UMP dan UMK. Mulai dari unsur pekerja, unsur pengusaha, pemerintah, akademisi hingga Badan Pusat Statistik (BPS).

"Kalau unsur pekerja, tentu saja di dalamnya sudah ada unsur serikat pekerja juga," ujar Aria.

Seperti diketahui, KSPSI DIY menolak besaran UMP dan UMK yang telah ditetapkan pada 19 November lalu. Ketua KSPSI DIY, Irsad Ade Irawan menyebut, upah minimum yang ditetapkan tidak sesuai dengan predikat yang disandang DIY yakni keistimewaan.

Pasalnya, kata Irsad, keistimewaan DIY tidak berdaya dalam membuat suatu sistem pengupahan daerah yang membawa kehidupan layak bagi buruh dan keluarganya.

"Upah buruh tidak pernah istimewa di provinsi yang menyandang predikat istimewa. Kami merasa bahwa buruh di Yogya belum merasakan manfaat dari diundangkannya UU Keistimewaan, jadi seolah keistimewaan itu hanya berlaku bagi segelintir orang saja atau khusus di keluarga raja," kata Irsad kepada Republika melalui sambungan telepon, Ahad (21/11).

Dengan adanya UU Keistimewaan, seharusnya Pemda DIY dalam hal ini Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dapat membuat terobosan dalam kebijakan pengupahan. Sebab, katanya, kebijakan pemerintah pusat terkait pengupahan seperti PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dinilai merugikan buruh dan pekerja.

Pihaknya juga menilai dengan UMP/UMK yang masih rendah di DIY, tidak akan mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Selain itu, rendahnya UMP/UMK ini sekaligus berdampak pada semakin besarnya angka ketimpangan di DIY.

"Dengan kembali ditetapkan upah murah 2022, DPD KSPSI DIY beserta seluruh pekerja/buruh di DIY kembali menelan pil pahit yaitu belum merasakan manfaat dari keistimewaan DIY," ujar Irsad.

Bahkan, Irsad juga menyebut rendahnya upah minimum melanggar hak konstitusional buruh sebagai warga negara. Salah satunya menyebabkan buruh kesulitan dalam membeli rumah.

"Banyak hak konstitusional dari buruh-buruh Yogya yang itu dilanggar. Mulai dari hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak juga dilanggar," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement