Ahad 19 Dec 2021 19:03 WIB

'Green Energy Adalah Tuntutan Zaman'

Indonesia punya sumber energi hijau & EBT melimpah, namun belum dimanfaatkan optimal.

Acara peluncuran buku Green Energy, Sebuah Keniscayaan oleh alumni Teknik Geologi UGM Angkatan 1983 (Geo83)  di UC UGM, Yogyakarta, Sabtu (18/12).
Foto: dokpri
Acara peluncuran buku Green Energy, Sebuah Keniscayaan oleh alumni Teknik Geologi UGM Angkatan 1983 (Geo83) di UC UGM, Yogyakarta, Sabtu (18/12).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Energi hijau (green energy) telah dipandang sebagai tuntutan zaman. Hal seiring dengan kondisi lingkungan dunia yang semakin buruk belakangan ini. 

"Untuk itulah gerakan memanfaatkan sumber energi yang minim polusi (less pollutant) dan dapat diperbarui (renewable) harus terus dikembangkan," ujar Ketua Geo83, Anif Punto Utomo, di sela-sela acara peluncuran buku 'Green Energy, Sebuah Keniscayaan' di UC UGM, Yogyakarta, Sabtu (18/12).

Sejak beberapa tahun lalu, isu yang populer dengan nama green energy atau energi baru terbarukan (EBT) ini  terus bergulir. Kegiatan industri tidak lagi bisa menghindar dari isu energi hijau berikut implementasi riil turunannya. "Green energy memang telah menjadi tuntutan zaman," kata Anif.

Kegalauan tentang penggunaan energi fosil (brown energy), kata Anif, sudah menjadi fenomena global. Oleh karena itulah muncul kesadaran kolektif dari para pemimpin dunia untuk beralih ke green energy. Bahkan Presiden Cina Xi Jinping pada Juni 2014 menyerukan Revolusi Energi, yakni revolusi dari brown energy ke green energy. "Strateginya adalah dengan cara mengekang konsumsi energi fosil dengan mengurangi drastis pemakaian batubara," ujar Anif.

Indonesia, kata Anif, memiliki sumber energi hijau dan EBT yang melimpah, namun sayang belum termanfaatkan optimal. Seperti negara lain, Indonesia masih mengandalkan energi fosil (batubara dan migas) untuk membangkitkan energi.

Saat ini Indonesia memiliki potensi EBT sejumlah 417,8 GW, sementara yang dimanfaatkan baru 2,5 persen atau 10,4GW. Rinciannya panas bumi memiliki potensi 29,3 GW (yang dimanfaatkan 8,9 persen), bioenergi potensi 32,6 GW (dimanfaatkan 5,8 persen), bayu potensi 60,6 GW (dimanfaatkan 0,3 persen), hidro 75 GW (dimanfaatkan 8,2 persen), surya potensi 207 GW (dimanfaatkan 0,07 persen), dan arus laut potensi 17,9 GW (belum dimanfaatkan sama sekali).

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki bahan baku untuk energi hijau yakni mineral yang mendukung untuk pembuatan baterai (terutama) untuk mobil listrik. "Indonesia memiliki 25 persen dari cadangan nikel di seluruh dunia, sehingga Indonesia akan memerankan peran yang sangat strategis dan dominan dalam usaha dunia mewujudkan green energy," kata Direktur J Resource Asia Pacific, Adi Maryono.

Karena itu, tambah Adi Maryono, kendaraan berbahan bakar fosil harus digantikan dengan kendaraan yang digerakkan listrik. Kalau transformasi itu terjadi, maka kebutuhan bahan tambang berupa nikel, cobal, lithium, dan rare earth element akan meningkat pesat.

"Ini akan melibatkan Indonesia. Karena Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Menurut United States Geological Survey (USGS), Indonesia memiliki 21 juta ton nikel metal. Sedangkan cadangan nikel global itu 95 juta ton nikel metal. Kalau menurut perhitungan saya sendiri, Indonesia memiliki 23,8 juta ton nikel metal," kata Adi.

Indonesia juga memiliki cadangan logam tanah jarang (rare earth element/REE) untuk pembuatan baterai. "Cadangan ada di Sumatera, Bangka Belitung, Kalimantan, dan Sulawesi. Sayang pengembangan REE masih terkendala pada ketersediaan regulasi yang tidak jelas dan belum memberikan stimulus pada pelaku usaha," kata Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) periode 2014-2020 itu.

Adi mengatakan hasil pembakaran bahan bakar fosil memiliki kontribusi yang luar biasa sebagai penyumbang karbon dioksida (CO2). Sehingga mau tidak mau, fokus negara-negara di dunia mengurangi global warming. Hal ini sudah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi perubahan iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia.

"Hasil COP 26 membuat buku peraturan dari Paris Agreement sehingga sekarang lebih kongkrit. Kongkritnya sudah membatasi CO2, bertranformasi dari brown energy ke green energy,” kata Adi Maryono.

Sementara itu, Vice President Project Development  PT Pertamina Geotyermal Energy (PGE) Tavip Dwikorianto mengatakan pemanfaatan panas bumi (geotermal) memiliki banyak kelebihan. Di antaranya, bersifat ramah lingkungan, mengurangi emisi karbon yang menjadi penyebab utama hujan asam atau peningkatan efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. 

"Potensi panas bumi Indonesia sekitar 28 GWe dengan jumlah sebaran di 265 titik. Kekayaan ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki panas bumi yang melimpah," kata Tavip yang merupakan ketua panitia peluncuran buku 'Green Energy, Sebuah Keniscayaan'.

Buku 'Green Energy, Sebuah Keniscayaan' yang diluncurkan Sabtu kemarin merupakan tulisan berupa pemikiran, solusi dan rekomendasi dari ahli geologi alumni Teknik Geologi UGM Angkatan 1983 (Geo83). Para penulis memiliki latar belakang profesi beragam mulai dari pengelolaan sumber daya kebumian (geotermal, migas, mineral dan batubara), geologi teknik, hidrogeologi, wartawan, bankir, dan lain-lain. Akan tetapi semua tulisan mengarah kepada maksimalisasi pemanfaatan energi hijau.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement