Ahad 02 Jan 2022 19:30 WIB

Klitih Rusak Branding Istimewa DIY

Klitih itu bukan budaya Yogya, budaya Yogya itu saling menghormati dan saling menjaga

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Muhammad Fakhruddin
Pengunjung melihat lini masa kejadian klitih saat Pameran Klitih di Galeri Lorong, Yogyakarta, Selasa (30/3). Pameran dengan tajuk The Museum of Lost Space ini menceritakan lini masa fenomena klitih di Yogyakarta. Beberapa senjata tajam yang digunakan, pemberitaan klitih di media, hingga wawancara dengan pelaku ada di sini. Pameran karya dari Yahya Dwi Kurniawan ini menjelaskan bagaimana fenomena klitih terjadi, serta mendiskusikan bagaimana solusi kejahatan jalanan ini.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Pengunjung melihat lini masa kejadian klitih saat Pameran Klitih di Galeri Lorong, Yogyakarta, Selasa (30/3). Pameran dengan tajuk The Museum of Lost Space ini menceritakan lini masa fenomena klitih di Yogyakarta. Beberapa senjata tajam yang digunakan, pemberitaan klitih di media, hingga wawancara dengan pelaku ada di sini. Pameran karya dari Yahya Dwi Kurniawan ini menjelaskan bagaimana fenomena klitih terjadi, serta mendiskusikan bagaimana solusi kejahatan jalanan ini.

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Kenakalan dan kejahatan jalanan (klitih) yang masih terus terjadi di DIY menjadi perhatian. Bahkan, banyak masyarakat yang geram melihat klitih masih marak terjadi saat ini.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY pun menyayangkan hal ini dan klitih sendiri berdampak besar, terutama di sektor pariwisata. Terlebih, saat ini sektor pariwisata DIY baru saja bangkit karena terdampak pandemi Covid-19.

Baca Juga

"Klitih itu akan merusak branding kita yang istimewa, (branding) itu akan pudar kalau klitih dibiarkan terus berlarut-larut," kata Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono kepada Republika melalui sambungan telepon, Ahad (2/1).

Deddy menuturkan, klitih membuat citra DIY menjadi rusak. Klitih yang sudah menjadi persoalan lama ini seakan membuatnya sudah menjadi budaya di DIY.

Padahal, kata Deddy, klitih bukan merupakan budaya DIY. Hal ini tentu membuat citra DIY di mata wisatawan menjadi rusak.

"Klitih itu bukan budaya Yogya, budaya Yogya itu saling menghormati dan saling menjaga," ujarnya.

Jika klitih dibiarkan terus terjadi, dikhawatirkan akan semakin berdampak di sektor pariwisata dan membuat kunjungan wisatawan ke DIY turun. Sementara, sebagian besar penyumbang perekonomian DIY yakni di sektor pariwisata.

"Jangan sampai (pariwisata) dirusak seperti itu, tingkat hunian hotel dan restoran sudah mulai menggeliat. Jangan sampai image jelek itu menjadikan tingkat hunian itu turun atau kunjungan wisatawan di DIY itu turun," jelas Deddy.

Deddy juga menegaskan agar upaya pencegahan dan penanganan klitih ini dapat dilakukan secara komprehensif. Artinya, pencegahan dan penanganan ini menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya pihak bewajib.

Deddy pun mengapresiasi pihak berwajib yang secara cepat menindak klitih. Ia juga meminta agar penanganan klitih ini dapat dilakukan dengan membuat pelaku jera.

"Kita minta tidak hanya ditangkap, tapi dibikin jera. Bagaimana upaya bikin jera itu ya silakan dari pihak yang berwajib, karena ini berulang terus," katanya.

Selain itu, Deddy juga meminta kepada orang tua dan masyarakat luas untuk berperan aktif dan memberi perhatian lebih terhadap upaya pencegahan klitih. Pasalnya, sebagian besar pelaku klitih ini merupakan pelajar dan mahasiswa.

"Kita tidak bisa menyerahkan ini 100 persen kepada pihak berwajib. Ada beberapa komponen yang bisa bertanggung jawab dengan hal ini, baik itu orang tua, tetangga, RT/RW maupun yang lain, kan dari lingkungan terdekat dulu yang harusnya mengawasi," tambah Deddy.

Peran aktif dari seluruh komponen masyarakat, diharapkan klitih ini dapat dihapuskan dari DIY. Dengan begitu, sektor pariwisata DIY juga dapat terus menggeliat yang tentunya juga berdampak pada peningkatan perkeonomian dan kesejahteraan masyarakat luas.

"Selalu menjaga lingkungan kita dan keluarga kita sendiri. Dari sektor pariwisata itu ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor keamanan, kenyamanan dan kesehatan di saat pandemi," kata Deddy.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana juga mengatakan bahwa fenomena klitih di DIY sangat memprihatinkan. Ia pun meminta aparat untuk mendeteksi potensi klitih sejak dini agar segera dapat dilakukan pencegahan.

"Dengan teknologi yang ada saat ini, saya yakin (aparat) mampu melakukan deteksi dini (dari) koordinasi-koordinasi (yang terjadi di) geng klitih. Selain itu, kerja sama erat dan komunikasi dengan sekolah juga harus dilakukan untuk pencegahan," kata Huda.

Huda menyayangkan masih maraknya klitih di DIY mengingat sebagian besar pelakunya merupakan pelajar dan mahasiswa. Sedangkan, DIY sendiri merupakan Kota Pelajar, yang mana menjadi tempat berkumpulnya pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.

"Kota Pelajar tempat siswa dan mahasiswa dari berbagai tempat menjadi mengkhawatirkan dan mencekam di malam hari karena aksi anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab," ujar Huda.

Huda pun meminta aparat untuk melakukan tindakan hukum yang tegas bagi pelaku klitih. Meskipun pelaku masih di bawah umur, katanya, harus ditindak untuk menimbulkan efek jera. "Meskipun usia mereka anak-anak, tapi membahayakan sekali tindakannya," jelas Huda.

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X juga menanggapi terkait maraknya klitih saat ini di DIY. Menurut Sultan, berbagai upaya pencegahan dan penanganan sudah dilakukan dalam menekan klitih.

"Mestinya klitih itu ditangani, mungkin memang kondisi real itu berbeda ya. Anak-anak mungkin pendidikan atau pun pengawasannya, juga kondisinya dulu sama sekarang itu berbeda," kata Sultan.

Pemda DIY sendiri, kata Sultan, pernah memiliki lembaga konsultasi yang mengurus terkait kenakalan anak. Lembaga ini memberikan konsultasi dan pemahaman kepada keluarga, terutama pelaku yang masih di bawah umur dalam rangka mencegah terjadinya klitih.

"Semua harus kita kumpulkan, kita beri pemahaman untuk dialog. Memang tidak mudah, kalau seperti ini ada satu keluarga (misalnya), nanti (kalau) 10 orang (anak) itu berarti kan 10 kepala keluarga (yang harus dikumpulkan)," ujar Sultan.

Masalahnya, konsultasi terkait kenakalan anak ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mahalnya biaya konsultasi juga menjadi perhatian dan membuat upaya-upaya penanganan klitih kurang maksimal.

"Tapi memerlukan biaya yang pada waktu itu mereka minta Rp 3-4 juta untuk menangani satu keluarga. Bagi saya itu masih terlalu mahal, perlu cari yang lain yang lebih memungkinkan," jelas Sultan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement