Senin 03 Jan 2022 21:56 WIB

Penanggulangan Masalah Gizi di Indonesia Perlu Kolaborasi

Jejaring ini memiliki komitmen membantu penurunan anemia dan stunting.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Penanggulangan Masalah Gizi di Indonesia Perlu Kolaborasi (ilustrasi).
Penanggulangan Masalah Gizi di Indonesia Perlu Kolaborasi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Sudah 76 tahun merdeka, Indonesia masih hadapi permasalahan gizi, termasuk anemia dan stunting. Dari usaha yang dilakukan, belum semua intervensi anemia dan stunting mampu memberi dampak positif signifikan.

Bersama anemia, stunting jadi permasalahan prioritas yang perlu diselesaikan menyambut Indonesia Emas 2045. Kompleksitas persoalan penanggulangan gizi anemia dan stunting memerlukan kolaborasi berbagai elemen yang ada.

Baca Juga

Tidak cuma melibatkan satu institusi atau satu jenis intervensi, usaha ini perlu komitmen multisektor. Pemerintah pusat dan daerah, lembaga non pemerintah, tenaga kesehatan, peneliti, akademisi, swasta, komunitas dan setiap individu.

Merespon itu, Pusat Kesehatan dan Gizi Manusia FKKMK UGM menginisiasi pembentukan Indonesia Nutrition University Network (Nature). Menggandeng perguruan tinggi dan lembaga akademik lain di Indonesia pada November 2021.

Jejaring ini memiliki komitmen membantu penurunan anemia dan stunting. Melibatkan 27 lembaga akademik, terdiri dari 25 perguruan tinggi dari 21 provinsi, termasuk Eijkman dan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil.

Kegiatan dimulai sejak Juli 2021 terdiri dari tiga fase sosialisasi, diskusi dan pembentukan kesepakatan. Pertama, Prof Hardinsyah dari IPB meminta pencegahan stunting fokus mulai dari calon pengantin sampai anak dua tahun.

Ia berpendapat, tidak cukup hanya 1.000 hari pertama kehidupan karena calon orang tua harus diberi bekal mengenai optimalisasi gizi keluarga sejak akan menikah. Rekomendasi kedua, perlu penguatan kebijakan penurunan stunting.

"Kebijakan yang sudah ada saat ini sudah baik, namun lemah dalam upaya-upaya konvergensi, terutama tatanan kabupaten/kota sampai desa dan RW," kata Hardinsyah, Senin (3/1).

Rekomendasi lainnya datang pula dari spesialis gizi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr Widjaja Lukito. Ia menjelaskan, penting pendekatan eko-nutrisi, yaitu menilik lingkungan, kesehatan dan status gizi saling terkait.

"Masalah anemia gizi, anemia non-gizi dan stunting perlu libatkan semua pihak. Rujukan berjenjang perlu dilakukan baik komunitas lewat posyandu, puskesmas dan rumah sakit dengan inovasi berbasis potensi lokal dan pemberian PKMK," ujar Widjaja.

Prof Ali Agus dari UGM turut menceritakan pengalaman melakukan kolaborasi antara Fakultas Peternakan UGM, FKKMK UGM dan Dinkes Sleman. Dilakukan untuk penggunaan telur fungsional pencegahan rawan stunting) di Sleman.

"Kegiatan terintegrasi antara pangan, kesehatan dan kesejahteraan. Telur dipilih karena kandungan gizi lengkap, terjangkau, relatif diterima masyarakat dan bisa dikonsumsi harian," kata Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement