Senin 28 Feb 2022 15:19 WIB

Pakar Ungkap Tiga Alternatif Kebijakan Atasi Kelangkaan Minyak Goreng

Pemerintah perlu menyeimbangkan kebutuhan dalam negeri dan luar negeri.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
Seorang warga menunjukan minyak goreng serta jarinya yang telah ditandai tinta saat operasi pasar minyak goreng (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Seorang warga menunjukan minyak goreng serta jarinya yang telah ditandai tinta saat operasi pasar minyak goreng (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Rossanto Dwi Handoyo menanggapi kelangkaan minyak goreng di pasaran. Menurutnya, pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri semakin lama semakin berkurang, sehingga pemerintah perlu melakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas dari produksi minyak goreng.

Menurutnya, kelangkaan tersebut harus menjadi perhatian bersama. Sebelumnya minyak goreng di dalam negeri sempat mengalami over-supply sehingga pemerintah menerapkan kebijakan terkait Program Biodiesel 30 Persen (B30). Namun baru-baru ini, pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri justru mengalami penurunan.

Rossanto menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang harus diupayakan oleh pemerintah guna mengatasi kelangkaan minyak gireng tersebut. "Dengan penerapan tiga hal, diharapkan kelangkaan minyak goreng dalam negeri bisa teratasi," ujarnya, Senin (28/2).

Rossanto menjabarkan, tiga hal yang dimaksud salah satunya adalah menaikkan pajak ekspor minyak goreng. Ia mengingatkan, harga minyak goreng dunia mengalami kenaikan dari yang awalnya seharga 1.100 dolar AS menjadi 1.340 dolar AS. Untuk itu, pemerintah perlu menyeimbangkan kebutuhan dalam negeri dan luar negeri.

Ia melanjutkan, harga minyak luar negeri saat ini memang cukup menjanjikan. Namun apabila dirasa kurang efektif dalam mendorong kebutuhan pasar dalam negeri, pemerintah dapat menerapkan pajak ekspor minyak goreng menjadi lebih tinggi.

“Dengan begitu pemerintah dapat memastikan pasokan minyak goreng dalam negeri tercukupi,” ujarnya.

Menurutnya, kebijakan perdagangan juga bisa dilakukan pemerintah dengan menaik-turunkan kebijakan ekspor. Apabila kebutuhan dalam negeri masih kurang, maka pemerintah bisa menaikkan pajak ekspor sehingga mengurangi motivasi produsen domestik untuk mengekspor minyak ke luar negeri karena pajak tinggi.

Sebaliknya, jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, pemerintah bisa menurunkan pajak ekspor. Hal tersebut akan mendorong produsen melakukan ekspor ke luar negeri sehingga tidak ada yang menumpuk di gudang.

“Semua CPO (Crude Palm Oil) yang diproduksi juga bisa terjual, baik di dalam atau luar negeri,” kata dia.

Rossanto melanjutkan, langkah selanjutnya adalah pemerintah dapat melakukan relaksasi atau pengenduran kewajiban produsen untuk memenuhi kebutuhan biodiesel 30 persen. Persentase biodiesel bisa dikurangi menjadi 20 persen selama masa gejolak kelangkaan minyak goreng terjadi.

“Jika dirasa masih cukup tinggi, bisa diturunkan lagi sampai 15 persen,” kata dia

Langkah terakhir, lanjurt Rossanto, adalah melakukan operasi pasar. Misalnya dengan melacak dari produsen harus memiliki kewajiban untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan ekspor. Pemerintah harus memastikan pasokan minyak goreng dalam negeri terpenuhi dengan harga yang wajar dan terjangkau oleh masyarakat.

“Misalnya dengan menerapkan kebijakan 20-30 persen dari produksi harus dipasarkan di dalam negeri,” kata dia.

Efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut, kata dia, lebih terasa jika intervensi di sektor hulu lebih diutamakan daripada di sektor hilir. Operasi pasar terbuka yang dilakukan pemerintah di sektor hilir dengan menjual minyak goreng dengan harga murah, justru dinilainya kurang efektif.

“Selama pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri masih kurang, hal itu akan terjadi kelangkaan dan harganya akan naik,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement