Sabtu 16 Apr 2022 08:24 WIB
Syiar Ramadhan

Kebebasan dan Keadaban dalam Bernegara

Negara harus dapat menengahi persoalan yang selalu berulang ini.

Ilustrasi keberagaman dan persatuan.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Ilustrasi keberagaman dan persatuan.

Oleh : Muhammad Salisul Khakim*

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia sebagai negara berdiri berdasarkan kons­truksi keberagamaan dan keberagaman. Keberagamaan menjadi hal yang mengikat warga negara agar memiliki keadaban dalam kehidupan ber­masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sementara itu, keberagaman menjadi hal yang melepas warga negara agar lebih memiliki kebebasan dalam kehidupan yang lebih dari sekedar bernegara, melainkan kehidupan yang mengacu pada globalisasi. Isu-isu yang berkaitan dengan kedua hal di atas selalu menjadi menjadi polemik yang sukar untuk diuraikan hingga kemudian menimbulkan tindakan-tindakan anarkistis.

Aksi pengeroyokan terhadap terduga penista aga­ma beberapa waktu lalu menjadi polemik antara ke­bebasan dan keadaban yang tidak terselesaikan, ka­rena massa telah menjadi hakim mendahului negara yang seharusnya berdiri di depan. Tindakan-tindakan yang tidak beradab dimunculkan sebagai akibat pe­nyalahartian kebebasan berpendapat.

Keberagamaan tidak lagi menjadi acuan bagi se­seorang untuk memiliki adab yang baik, dan kebera­ga­man juga tidak lagi menjadi contoh kebebasan yang menarik. Negara harus dapat menengahi persoalan yang tak pernah selesai dan selalu berulang ini.

 

Bahkan tindakan perusakan-perusakan tempat ibadah seperti masjid ataupun gereja yang pernah terjadi sebelumnya menjadi kewajiban negara untuk selalu hadir mengawal proses sebagaimana mestinya yang tertuang dalam dasar negara. Konstitusi negara berdasarkan UUD 1945 pasal 29 tegas mengatasna­ma­kan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar nega­ra.

Hal ini menunjukkan bahwa negara menjamin ke­merdekaan setiap warga negara untuk memeluk aga­ma dan untuk beribadat menurut agamanya dan ke­per­cayaannya masing-masing. Sementara itu, dalam Pasal 28E menjelaskan bahwa negara juga menjamin setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, ber­kumpul dan mengeluarkan pendapat.

Negara harus berdiri bukan hanya sekedar kons­titusi yang tertulis dalam peraturan perundang-unda­ngan, melainkan penegak negara juga harus hadir berhadap-hadapan dengan publik yang bertanya-tanya.

Pemerintahan yang berdaulat sebagai unsur uta­ma penegak negara memiliki tanggung jawab besar terhadap berlangsungnya proses kehidupan masya­rakat dalam berwarganegara. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana undang-undang harus tegas da­lam mewujudkan tujuan negara sebagaimana tertuang dalam penghujung dasar negara.

Yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone­sia, bukan malah mementingkan elite koalisi pemerin­tah untuk berbagi jatah kursi-kursi menteri dan wakil­nya. Jatah kursi pun tidak dapat dimaksimalkan pe­ran­nya oleh elit, sehingga yang terjadi justru kega­du­han demi kegaduhan di kalangan sektoral tanpa sama sekali ada hal yang esensial di dalamnya.

Sementara itu, legislatif sebagai lembaga yang di­amanahi membuat undang-undang harusnya dapat men­jadi representasi dalam mengusung aspirasi rak­yat, bukan justru mementingkan kepentingan partai politiknya, apalagi berkoalisi dengan pemerintah da­lam artian tidak terjadi check and balance dalam proses bernegara.

Di sisi lain, yudikatif sebagai lembaga peradilan yang dipercaya rakyat harusnya berdiri secara netral dan menegakkan keadilan di tengah polemik kebe­ra­gamaan dalam kebe­ragaman.

Isu-isu pernika­han beda agama, dis­pensasi pernikahan dini, diskriminasi peng­hayat keperca­yaan, ketidakjelasan kasus perusakan tem­pat-tempat iba­dah, hingga penistaan agama menjadi men­jadi permasalahan yang terus berulang terjadi dengan beru­jung pada eksekusi represif, yang sebe­narnya dapat dila­kukan penindakan secara preventif.

 

*Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement