Rabu 20 Apr 2022 17:15 WIB

Implementasi UU TPKS Perlu Ubah Budaya Patriarki

Kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat sering terjadi.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan tanggapan dari pemerintah saat rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan tanggapan dari pemerintah saat rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Pakar bidang gender dan politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Nur Azizah, mengapresiasi disahkannya UU TPKS. Salah satu usaha konkrit implementasi UU TPKS perlu perubahan budaya menuju kesetaraan gender.

Nur menilai, UU TPKS jadi langkah dan payung hukum bagus, meski disahkan saja tidak berarti selesai persoalan. Implementasi, masih butuh banyak tahap dengan turunan jadi berbagai peraturan dengan konteks tindak pidana kekerasan seksual.

"Walaupun UU TPKS sudah disahkan, namun masih banyak yang perlu dilakukan dan harus diperjuangkan agar korban kekerasan seksual memperoleh keadilan," kata Nur, Rabu (20/4/2022).

Kekerasan seksual memiliki dilematis untuk mengusut tuntas menuju ranah hukum, yaitu adanya beberapa faktor dilematis yang dialami korban. Antara lain trauma bagi korban, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengusut ke ranah hukum.

Korban memiliki keinginan untuk melupakan kejadian yang dialami, serta adanya rasa takut jika mengalami sanksi sosial dan berimbas keluarga korban. Maka itu, UU TPKS diharap miliki titik terang, bagian mengubah peradaban yang lebih baik.

"Dengan tidak memberi toleransi kepada pelaku kekerasan seksual, sehingga bisa tercipta peradaban yang menghargai keadilan bagi semua pihak, termasuk bagi korban kekerasan seksual," ujar Nur.

Bagi Nur, kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat sering terjadi, bahkan sudah terjadi sebelum Indonesia merdeka. Namun, kerap dianggap sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting, sehingga dirasa tidak perlu untuk diatur dalam UU.

Ia menilai, permasalahan kini terjadi karena masyarakat hidup dalam belenggu budaya patriarki, sering memberi sikap permisif terhadap hal-hal berkaitan kekerasan seksual. Terlebih, bentuk kekerasan seksual memiliki jenis yang beragam.

Contoh yang menjadi problematika dalam kasus kekerasan seksual antara lain di kasus pemerkosaan seringkali pelaku diberi hukuman sangat ringan. Menunjukkan sebelum disahkan, UU TPKS ini dianggap regulasi tersebut tidak terlalu penting.

"Adanya belenggu budaya patriarki tersebut, maka tindak kekerasan seksual selalu terjadi. Oleh karena itulah persoalan tersebut tidak mampu mengubah budaya untuk meminimalisir tindakan kekerasan seksual di Indonesia," kata Nur.

Ia berpendapat, untuk mengubah budaya patriarki memang bukan suatu yang mudah, namun mengubah budaya itu perlu dilakukan. Misalnya, bagaimana memberikan efek jera terhadap pelaku tindak kekerasan seksual apapun bentuk maupun jenisnya.

Beri pemahaman bentuk dan jenis kekerasan seksual dalam rangka mengubah budaya patriarki karena belum tentu masyarakat memahami bentuk atau jenis kekerasan seksual. UU TPKS, lanjut Nur, tidak cukup sekadar disahkan, perlu sosialisasi.

Sehingga, setelah sosialisasi ini ada perubahan kesadaran di kalangan perempuan dan laki-laki tentang kekerasan seksual yang terjadi karena kesenjangan power. Pelaku memiliki power lebih unggul, sedangkan korban memiliki power yang lemah.

"Tidak ada lagi perempuan memiliki kedudukan yang rendah, sebaliknya laki-laki tidak menggunakan kekuasaannya untuk semena-mena yang berakibat pada kekerasan seksual," ujar Nur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement