Kamis 12 May 2022 15:39 WIB

'Perlu Peran Kampus dan Warga Atasi Masalah Sampah di DIY'

Kondisi TPST sudah overload ditambah perluasan lahan transisi kurang berjalan mulus.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Pengendara melintas di dekat tumpukan sampah di kawasan Patuk, Yogyakarta, Rabu (11/5/2022). Penumpukan sampah di tempat pembuangan sampah sementara kota Yogyakarta tersebut akibat penutupan akses jalan terkait penolakan warga terhadap proses transisi pembuangan sampah ke lahan baru di kawasan Piyungan serta meminta penutupan TPST Piyungan secara permanen.
Foto: ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Pengendara melintas di dekat tumpukan sampah di kawasan Patuk, Yogyakarta, Rabu (11/5/2022). Penumpukan sampah di tempat pembuangan sampah sementara kota Yogyakarta tersebut akibat penutupan akses jalan terkait penolakan warga terhadap proses transisi pembuangan sampah ke lahan baru di kawasan Piyungan serta meminta penutupan TPST Piyungan secara permanen.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Darurat sampah multidimensional mungkin frasa yang tepat menggambarkan pengelolaan sampah DIY. Kondisi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan yang semakin kritis jadi sandungan besar Pemda DIY, terutama Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.

Dosen Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII), Fajri Mulya Iresha mengatakan, kondisi TPST sudah overload ditambah perluasan lahan transisi yang kurang berjalan mulus. Ini disertai dengan keresahan warga sekitar TPST Piyungan.

Sebab, banyak gangguan, terutama kesehatan dan kenyamanan menjadikan kombinasi sempurna semua permasalahan. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional KLHK, tiga kota itu menghasilkan kurang lebih 1.589 ton per harinya.

Tidak kurang dari 600 ton per hari masuk ke TPST Piyungan. Jumlah yang besar ini jadi ancaman menakutkan bila tidak dikelola baik. Kurangnya pendanaan, partisipasi masyarakat, intervensi teknologi dan penegakan aturan pengelolaan sampah.

Lalu, bentuk kelembagaan tidak tepat mengelola sampah jadi masalah pengelolaan, terutama negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ada tiga yang harus dibenahi sebelum menambahkan intervensi teknologi dan meningkatkan peran serta masyarakat.

"Kita sama-sama tahu DIY merupakan lumbung inovasi karena banyak berdiri universitas mentereng yang makin mempertegas Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan. Jadi, bukan mustahil menciptakan dan memilih opsi teknologi yang cocok diterapkan," kata Fajri, Rabu (12/5/2022).

Selain itu, DIY merupakan asal muasal konsep dan penerapan bank sampah Indonesia, yang notabene merupakan program yang sangat bergantung ke partisipasi masyarakat. Namun, pertama harus dibenahi retribusi dan pembiayaan untuk pengelolaan sampah.

Harus ada sistem yang handal yang memastikan seluruh pengguna layanan persampahan membayar iuran retribusi dengan tentunya besaran sesuai. Digitalisasi merupakan kunci, retribusi yang terkumpul bisa lebih maksimal dan transparansi terjaga.

Untuk pembiayaan teknologi dan sarana prasarana, skema KPBU bisa jadi solusi atas rendahnya alokasi APBN dan APBD untuk sektor persampahan. Kedua, penegakan aturan pengelolaan sampah. Harus ada aturan yang tegas yang bisa menimbulkan efek jera.

Terutama, bagi orang yang buang sampah sembarangan atau membakar sampah. Apalagi, kewajiban dalam pemilahan sampah sudah harus dipikirkan. Misal, dibuat satu area dulu sebagai pilot project karena pemilahan sampah merupakan salah satu kunci.

Teknologi apa pun akan jadi efisien bila terjadi pemilahan sampah dan hampir semua negara maju terapkan aturan memilah. Ketiga, perlu skema kelembagaan yang tepat. Skema lama yang menempatkan sampah hanya menimbulkan cost harus segera diubah.

"Skema BLUD atau BUMD yang mengelola sampah bisa dijadikan opsi karena mindset-nya income generator dan pengelolaan berdasarkan profesionalitas tinggi sebagai usaha. Setelah itu, baru kita memikirkan teknologi yang tepat untuk mengolah sampah DIY ," ujar Fajri.

Pengelolaan berbasis thermal, seperti insinerator atau gasifikasi bisa dijadikan pilihan praktis, tapi berbiaya tinggi. Pengelolaan sampah organik berbasis makro dan mikroorganisme seperti komposting, vermicomposting, BSF (Black Soldier Fly).

Bahkan, terbaru ulat Hongkong dan Jerman yang mampu menghabiskan sampah organik jadi alternatif karena berbiaya rendah. Peran universitas menjadi krusial dalam mengembangkan teknologi-teknologi, serta tidak lupa pula peran serta masyarakat.

Untuk mengubah kebiasaan masyarakat butuh waktu, penting dialog antar pihak, terutama warga terdampak sekitar TPST demi kelancaran program. Pemulihan lingkungan sekitar TPST dan analisis resiko kesehatan masyarakat akibat pencemaran TPST bisa jadi solusi.

Pengelolaan sampah di Muncar Banyuwangi bisa menjadi salah satu contoh penerapan pengelolaan sampah yang baik melibatkan masyarakat berbasis badan usaha (Bumdes). Menurut Fajri, dari pengelolaan sampah mereka dapat menghasilkan nilai ekonomi.

"Tingkat partisipasi yang tinggi sekitar 95 persen, sehingga menghasilkan tingkat pengolahan dan pengurangan sampah yang tinggi juga dari yang awalnya penduduk hanya membuang sampahnya langsung ke laut," kata Fajri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement