Rabu 08 Jun 2022 17:08 WIB

Kepala Daerah Visioner Belum Tentu Antikorupsi

Masih ada lubang untuk jual beli perizinan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Sejumlah aktivis berkampanye antikorupsi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah aktivis berkampanye antikorupsi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie mengatakan, Haryadi Suyuti menjadi wali kota pertama di Yogyakarta yang ditetapkan tersangka oleh KPK. Sehingga, ini menjadi early warning system.

Artinya, Yogyakarta sebagai Kota Pelajar dan Kota Pendidikan yang masyarakatnya terpelajar, kritis, terbuka, pemerintahannya berpotensi abuse of power. Bahkan, dengan kontrol masyarakat yang kritis dan pers yang bebas dan independen.

"Gagasan visioner dari aparatur dan birokrasi, tapi masih ada lubang untuk jual beli perizinan," kata Gugun, Rabu (8/6).

Ia mengingatkan, kepala-kepala daerah berprestasi, visioner dan berintegritas masih belum menjadi jaminan. Seperti mantan gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah, mantan wali kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, ternyata jebol benteng pertahanannya.

Ini berarti seorang begawan titisan Dewa Ruci sekalipun jika jadi kepala daerah negeri ini tetap tergoda dan tidak kuasa melawan oligarki politik yang memaksa untuk korup. Di belakang Haryadi, ada parpol-parpol pendukung yang mengusungnya.

Tentu, lanjut Gugun, wali kota maju dengan kendaraan koalisi parpol tidak gratis, ada deal-deal bisnis atau kontrak politik tertentu. Apalagi, parpol sudah mulai membutuhkan amunisi untuk bertanding dalam pemilu serentak 2024 yang semakin oligarkis.

Semua kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, selalu ada aktor pengusaha. Summarecon yang diduga terlibat jual beli perizinan apartemen Kedhaton di cagar budaya Malioboro tentu berani bayar berapapun asal regulasi penghambat disulap jadi mudah.

"Jual beli perizinan oleh kepala daerah dan birokrasi, pasti didorong oleh ambisi merkantilisme kaum pemodal," ujar Gugun.

Maka itu, penegakan hukum kepada perusahaan untuk menerapkan asas Good Corporate Governance harus dijalankan serius. Percuma mendorong birokrasi dan pemerintahan Good Government, tapi swasta, perusahaan, masih nakal, dan tidak tersentuh hukum.

Ia menekankan, banyak perusahaan yang tidak mengimplementasikan Businessman Judgement Rule (BJR) dalam proses bisnisnya. Sehingga, masih saja menghalalkan segala cara seperti markup harga, jual beli perizinan, atau pemalsuan dokumen.

"Ini momentum bahwa Yogya ternyata tidak sungguh-sungguh menjadi kota yang berintegritas, belum teruji menjadi kota yang antikorupsi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement