Senin 20 Jun 2022 20:29 WIB

UII Kritisi Pengesahan UU Perubahan Kedua P3

Minim partisipasi dan narasumber dalam konsultasi publik.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
UII Kritisi Pengesahan UU Perubahan Kedua P3 (ilustrasi).
Foto: republika/mgrol100
UII Kritisi Pengesahan UU Perubahan Kedua P3 (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- UU 13/2022 tentang Perubahan Kedua P3 telah disahkan Presiden Jokowi dan diundangkan dalam lembaran negara 16 Juni 2022. Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH Universitas Islam Indonesia (UII) memberikan catatan terkait itu.

Peneliti PSHK, Retno Widiastuti meilai, secara formil pembentukan belum memenuhi prinsip meaningful participation. Sebab, minim partisipasi dan narasumber dalam konsultasi publik minim ahli-ahli pembentukan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga

Substansi UU Perubahan Kedua P3 sebagian besar terfokus akomodasi metode omnibus (Pasal 42A, Pasal 64, Pasal 97A). Sehingga, UU Perubahan Kedua P3 cuma melegitimasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dibentuk secara omnibus.

Lalu, mengatur sangat parsial dan pragmatis karena tidak mengidentifikasi secara menyeluruh persoalan pembentukan peraturan perundang-undangan yang nyata-nyata dibutuhkan dan aspiratif disampaikan masyarakat dan akademisi ke pembentuk UU.

 

Antara lain penataan hierarki peraturan perundang-undangan, penataan peraturan delegasi, penataan peraturan lembaga negara independen dan peraturan komisi, penataan kelembagaan, pengaturan persetujuan presiden dalam pembentukan Permen.

Penyempurnaan pengaturan carry over, penyempurnaan pengaturan pemantauan UU oleh DPR, metode evaluasi peraturan perundang-undangan, pengaturan metode pembentukan UU secara cepat dan penataan UU tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.

"Presiden dan DPR telah mengesampingan banyaknya permasalahan dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan dan hanya mengedepankan kepentingan jangka pendek yakni akomodasi metode omnibus," kata Retno, Senin (20/6/2022).

Secara substansi, dalam UU Perubahan Kedua P3, Pasal 64 ayat (1) mengatur metode omnibus dimungkinkan mengatur yang tidak satu rumpun bidang hukum. Sehingga, ada disharmonisasi karena basis landasan filosofis, sosiologis dan yuridis berbeda.

Pasal 72 dan Pasal 73 mengatur mekanisme perbaikan kesalahan teknis usai tahap persetujuan RUU. Pasal 72 ayat (1a) menyebut kesalahan teknis penulisan antara lain huruf tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik.

"Judul/nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat/butir tidak sesuai, yang tidak substansial. Mekanisme ini lazim digunakan sebagai clerical error, tapi rentan penyelundupan hukum, sehingga implementasinya perlu pengawasan ketat," ujar Retno.

PSHK FH UII merekomendasikan kepada Presiden dan DPR agar dalam setiap melakukan pembentukan UU, khususnya dalam UU Perubahan Kedua P3 ini harus memenuhi prinsip meaningful participation. Artinya, konsultasi publik secara partisipatif.

Memperhatikan hak masyarakat didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya dan mendapat penjelasan atas pendapat yang diberikan. Presiden dan DPR melakukan kajian permasalahan peraturan perundang-undangan jangka panjang dan holistik.

"Secara komprehensif yang diatur UU Perubahan Kedua P3 dengan tidak cuma parsial melegitimasi sebatas metode omnibus, tapi harus komprehensif solusi permasalahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan secara menyeluruh," kata Retno. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement