Selasa 23 Aug 2022 10:03 WIB

PKS Sebut Alasan Tolak Kenaikan Harga BBM

Pemerintah dinilai membuat pesan agar utang ke Pertamina dan PLN dibayar rakyat.

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).   (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mengatakan berencana mencabut subsidi energi bahan bakar minyak (BBM) yang sudah lebih dari Rp 500 triliun. Anggota Banggar dari Fraksi PKS DPR RI Sukamta menyatakan partainya menolak kenaikan BBM.

"Alasan pemerintah bahwa subsidi BBM tahun 2022 sudah mencapai Rp 500 trilliun  itu tidak benar. Subsidi energi tahun 2022 sebesar Rp 208,9 triliun itu pun terdiri dari subsidi BBM dan LPG pertamina 149,4 triliun serta subsidi listrik 59,6 triliun. Pemerintah seharusnya jujur, bukan membuat framing utang," kata Sukamta dalam siaran pers, Selasa (23/8/2022).

Menurut Sukamta, sisa Rp 343 trilliun digunakan untuk membayar utang kompensasi alias utang pemerintah ke Pertamina dan PLN tahun 2022 sebesar Rp 234,6 triliun dan utang tahun 2021 sebesar Rp 108,4 triliun. Kompensasi ini alasannya untuk mendukung operasional Pertamina dan PLN dalam menyediakan BBM subsidi. Jadi ini subsidi ke Pertamina dan PLN, bukan ke rakyat.

Mirisnya, kata dia, kompensasi yang diberikan kepada PLN dan Pertamina sebagian besar untuk membayar utang BUMN tersebut dan untuk menanggung beban umum dan administrasi perusajaan termasuk membayar gaji-gaji direktur, komisaris, dan manajemen.  Pertamina saja beban umumnya sangat besar mencapai Rp 29 trilliun pada tahun 2021. Tahun 2022 angkanya kemungkinan tidak akan berbeda jauh.

"Jadi pemerintah ini bikin pesan agar ada alasan utang pemerintah ke Pertamina dan PLN dibayar oleh rakyat. Dalihnya terlalu banyak subsidi BBM yang mencapai Rp 500 triliun. Padahal pemerintah ini tidak sanggup membayar utang ke Pertamina dan PLN," katanya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, kata Sukamta, PKS menolak rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan oleh pemerintah. Permasalahan BBM ini ibarat bom waktu, namun pemerintah tidak siap menghadapinya.

"Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM merupakan kebijakan paling mudah. Padahal masih banyak strategi yang bisa dilakukan. Misalnya mendorong penurunan konsumsi BBM dengan mendorong peningkatan layanan transportasi umum, peningkatan pajak kendaraan mewah, mendorong penggunaan mobil listrik," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement