Senin 29 Aug 2022 15:59 WIB

Relevansi Sistem Pengampuan terhadap Perlindungan Hak Konstitusional Disabilitas Mental

Perlu usaha sistemik pembaruan paradigma sistem pengampuan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) (kiri) ditemani petugas pendamping mewarnai gambar di Posyandu Jiwa di Kelurahan Ngampel, Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (25/8/2022). Pemerintah Kota Kediri gencar menyelenggarakan Posyandu Jiwa guna mempermudah masyarakat untuk mengakses layanan pengobatan dan konsultasi kesehatan jiwa.
Foto: ANTARA/Prasetia Fauzani
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) (kiri) ditemani petugas pendamping mewarnai gambar di Posyandu Jiwa di Kelurahan Ngampel, Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (25/8/2022). Pemerintah Kota Kediri gencar menyelenggarakan Posyandu Jiwa guna mempermudah masyarakat untuk mengakses layanan pengobatan dan konsultasi kesehatan jiwa.

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Sistem pengampunan di Indonesia saat ini merujuk Pasal 433 KUH Perdata sebagai dasar hukum pengampuan. Pasal tersebut berbunyi, setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun dia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.

Kepala Pusat Studi Hukum (PSH) Universitas Islam Indonesia (UII), Anang Zubaidy menilai, perlu usaha sistemik pembaruan paradigma sistem pengampuan. Sebab, realitasnya, dalam Pasal 433 KUH Perdata dampak berimplikasi ke tidak terpenuhi hak-hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum adil.

Baca Juga

Serta, perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur Pasal 28 D (1) UUD 1945. Bahkan, Pasal 28 I (1) UUD 1945 menegaskan kalau hak untuk diakui di hadapan hukum merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

"Karenanya, seharusnya setiap orang diperlakukan sama dan diakui pribadinya di hadapan hukum," kata Anang, Senin (29/8).

Stereotip dan stigma ke penyandang disabilitas mental harus dihentikan. Beragam pendekatan yang sudah tidak relevan seperti pendekatan penyandang disabilitas mental disebabkan dosa orang tua atau pendekatan belas kasih sudah tidak relevan.

Sehingga, diperlukan pendekatan berbasis HAM karena memandang seorang penyandang disabilitas mental sebagai manusia setara. Implementasi Pasal 433 KUH Perdata sangat berpotensi menyebabkan kematian keperdataan bagi disabilitas mental.

Sekaligus, menyebabkan berbagai kendala bagi penyandang disabilitas mental yang berhadapan dengan hukum. Maka itu, diperlukan sistem pengampuan yang didasarkan ke paradigma supported decision making bukan justru substituted decision making.

Kebijakan dan hukum terkait sistem pengampuan belum mengakomodir kebutuhan riil disabilitas. Dalam ilmu kesehatan, kondisi yang tidak permanen perlu didukung pengakuan hukum demi menjamin kepastian, kemanfaatan dan keadilan disabilitas.

PSH FH UII merekomendasi untuk aktualisasi secara penuh hak-hak konstitusional penyandang disabilitas terkait dengan asas equality before the law. Yang mana, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) serta 28 I ayat (1) UUD NRI 1945.

"Sehingga, tidak memberikan ruang sedikitpun atas tindakan diskriminatif dan tidak berkeadilan bagi penyandang disabilitas mental," ujar Anang.

Mendorong dirumuskan kembali atau merevisi ketentuan dalam Pasal 433 KUH Perdata berdasar kebutuhan disabilitas mental dan perkembangan ilmu kesehatan terkini. Sehingga, ia menekankan, memberikan ruang paradigma supported decision making.

Sebagai basis pengampuan yang berkeadilan, berkemanfaatan dan berkepastian di Indonesia. Demikian pembacaan atas realitas sistem pengampuan terhadap hak konstitusional disabilitas mental dan rekomendasi perbaikannya ke depannya.

"Semoga rekomendasi di atas dapat menjadi dasar sekaligus momentum bagi perbaikan pengaturan sistem pengampuan di Indonesia," kata Anang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement