Jumat 16 Sep 2022 13:16 WIB

Pakar Hukum Tata Negara UGM Nilai PPHN Potensial Merusak Sistem Presidensil

PPHN tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan kita yang sekarang.

Seminar bertajuk Kewenangan MPR RI Pasca Amandemen UUD NRI 1945 dalam Pembentukan PPHN di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (15/9).
Foto: istimewa
Seminar bertajuk Kewenangan MPR RI Pasca Amandemen UUD NRI 1945 dalam Pembentukan PPHN di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (15/9).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Upaya menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui konvensi ketatanegaraan dianggap tidak memiliki urgensi sama sekali. Bahkan rencana hadirnya PPHN melalui konvensi ketatanegaraan seperti yang direkomendasikan oleh MPR itu disebut akan merusak sistem ketatanegaraan.

Demikian mengemuka dalam seminar bertajuk Kewenangan MPR RI Pasca Amandemen UUD NRI 1945 dalam Pembentukan PPHN di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (15/9). Seminar yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar MPR dihadiri pembicara pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dan pakar Hukum Tata Negara dari UGM, Zainal Arifin Mochtar.

Baca Juga

Bivitri Susanti menilai wacana memasukan kembali PPHN dalam kontitusi tidak memiliki urgensi sama sekali. Bivitri mengatakan PPHN menjadi tidak penting masuk dalam konstitusi karena Indonesia sudah memiliki UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

“Kita sudah punya UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang sudah mengatur adanya Rencana Pembangunan Jangka (RPJ) Panjang, RPJ Menengah, dan RPJ Pendek yang bagus dari aspek perumusan maupun kontrol. Bahwa masih ada yg tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen, tetapi dalam pelaksanaannya,” ujarnya.

"Tidak ada kebutuhan untuk membuat PPHN. Tapi, kalau ketakutannya ideologi bangsa tentu adanya UUD 45 dan Pancasila sudah baik kok," lanjut Bivitri.

Selain itu, PPHN ini, kata Bivitri, tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan kita yang sekarang. Sehingga adanya PPHN nanti tidak akan ada manfaatnya. 

“Jadi saya melihatnya, ini kemauan MPR saja, untuk mengambil kembali power-nya atau kekuatan politiknya yang dulu sudah dikembalikan ke rakyat pada amandemen 1999-2002 yang sebenarnya tidak perlu juga, karena MPR kan hanya ada kalau DPR dan DPD bersidang, bukan lembaga tersendiri seperti dulu. Jadi ini salah kaprah saja karena maunya elite politik,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Zainal Arifin Mochtar menilai, MPR tidak bisa lagi membuat PPHN karena posisinya saat ini. 

"Amandemen UUD 45 membuat perubahan yang luar biasa. Termasuk kewenangan MPR, dari kedaulatan institusi menjadi kedaulatan konstitusi," katanya. 

Zainal menyebut, MPR bukan lagi dianggap perwakilan rakyat karena sudah ada DPR dan DPD. 

"Saya kira MPR tidak lagi pengejawantahan rakyat, maka dalam kapasitas apa MPR membuat PPHN. Apalagi calon Presiden kampanye sendiri maka tidak ada gunanya kalau presiden mengikuti haluan dari parlemen karena punya visi misi sendiri," jelasnya.

Ia menilai kelahiran PPHN bahkan sangat potensial merusak sistem presidensil yang saat ini sudah terbangun. 

"Kalau PPHN cawe-cawe ke lembaga lainnya dan mengganggu maka saya akan tolak. Kita kan sudah pakai sistem presidensil. Kalau pakai sistem yang dulu, saya setuju ada PPHN karena dulu presiden dipilih oleh MPR, karena dulu sistim semi parlementer," tuturnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement