Kamis 29 Sep 2022 10:28 WIB

Penyelamatan Macan Tutul Jawa di Gunung Muria Kian Mendesak

Teridentifikasi 13 ekor macan tutul tersisa di Gunung Muria pada 2018.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Hendra Gunawan, dalam rakor
Foto: Istimewa
Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Hendra Gunawan, dalam rakor

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kerusakan hutan di kawasan Gunung Muria terus mendesak populasi macan tutul Jawa (Panthera pardus melas). Kondisi ini bahkan kian mengancam keberlangsungan 'kucing besar' terakhir di tanah Jawa ini, setelah harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah pada tahun 1980-an.

Ancaman kepunahan satwa tersebut semakin nyata setelah kerusakan hutan di Gunung Muria sudah mengindikasikan masifnya gangguan keseimbangan ekosistem, yang ditandai oleh bencana banjir yang kerap terjadi di tiga kabupaten sekitar Gunung Muria, meliputi Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara.

Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Hendra Gunawan mengatakan, kondisi di kawasan hulu Muria ini telah dibahas dalam rakor 'Konservasi Macan Tutul Jawa di Gunung Muria', di kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang.

Menurutnya, macan tutul Jawa yang tersisa di Gunung Muria semakin terdesak akibat kehilangan habitat (habitat loss), degradasi habitat, dan fragmentasi habitat yang disebabkan oleh maraknya penggarapan kawasan hutan dan alih fungsi maupun alih peruntukan kawasan hutan.

 

Hasil monitoring yang diinisiasi Djarum Faoundation bekerja sama dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan Perkumpulan Masyarakat Pelindung Hutan  (PMPH) Gunung Muria berhasil mengidentifikasi 13 ekor macan tutul yang tersisa di Gunung Muria pada 2018.

Sayangnya, temuan menggembirakan ini harus dihadapkan pada kenyataan yang  menyedihkan, yaitu semakin bertambahnya habitat macan tutul Jawa yang hilang oleh karena aktivitas okupasi untuk lahan perkebun maupun ladang.

"Kerusakan serta gangguan keseimbangan ekosistem yang terjadi di kawasan Gunung Muria juga ditandai oleh seringnya macan tutul Jawa keluar dari hutan dan memangsa ternak warga," tambah Hendra, kepada Republika.co.id.

Ia juga mengingatkan, kerusakan hutan Gunung Muria jika terus dibiarkan dikhawatirkan akan semakin mengancam populasi macan tutul Jawa di sana. Pelan namun pasti satwa liar ini  bakal mengalami kepunahan lokal karena berbagai sebab.

Seperti kekurangan makanan, tidak dapat berkembang karena terbatasnya ruang jelajah, berkonflik dengan masyarakat, terisolasi sehingga terancam inbreeding (perkawinan sekerabat), penyakit katastropik, dan tiadanya rekolonisasi.

Maka, lanjutnya, untuk menyelamatkan macan tutul Jawa di Gunung Muria dari kepunahan, direkomendasikan agar Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung Gunung Muria yang menjadi habitat macan tutul Jawa diusulkan menjadi Hutan Konservasi berbentuk Taman Hutan Raya (Tahura).

"Dengan status sebagai hutan konservasi, akan lebih  menjamin kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati yang ada di kawasan Gunung Muria, termasuk di dalamnya macan tutul Jawa," tambah peneliti macan tutul Jawa pertama yang meraih gelar profesor riset ini.

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.287 /Menlhk/Setjen/Pla.2/4/2022 tanggal 5 April 2022, kawasan  hutan Gunung Muria termasuk yang ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).

Sesuai yang tergambar pada Lampiran Peta Lembar 1409, maka  pengelolaan khusus ini meliputi Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Lindung.

Pelaksanaan pengelolaan KHDPK untuk kepentingan Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, Rehabilitasi Hutan, Perlindungan Hutan atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan.

Dengan melihat kondisi biofisik di lapangan dan mengacu pada SK.287 tersebut, maka kawasan hutan Gunung Muria selain yang diperuntukkan Perhutanan Sosial,  sebaiknya difungsikan untuk konservasi keanekaragaman hayati yaitu sebagai Tahura.

Ke enam skema pengelolaan KHDPK dapat dilakukan di kawasan Tahura. Artinya penetapan Gunung Muria sebagai Tahura tidak akan bertentangan, tetapi justru sinergi dalam hal pengelolaan hutan lestari.

Perhutanan sosial di hutan konservasi dapat dilakukan dengan

skema kemitraan konservasi. Perubahan status fungsi hutan Gunung Muria menjadi hutan konservasi Tahura dimaksudkan untuk mencegah kerusakan hutan yang lebih parah akibat perambahan, dan penggarapan yang telah mengancam kelestarian dan fungsi hutan

Selain itu juga akan menyelamatkan keanekaragaman hayati endemik Jawa, antara lain macan tutul Jawa yang masih bertahan di Gunung Muria. Kawasan hutan Gunung Muria juga dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan untuk kepentingan konservasi, ekonomi, dan sosial.

Demikian pula Tahura juga akan semakin menjamin adanya landasan kepastian hukum, sebagai dasar semua upaya konservasi macan tutul Jawa yang dilakukan di kawasan hutan Gunung Muria.

,

Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2015, di kawasan Tahura juga dapat dilaksanakan kegiatan-kegiatan seperti penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, dan peningkatan kesadartahuan konservasi.

Selain itu juga koleksi kekayaan keanekaragaman hayati, penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi air, angin, panas matahari, panas bumi, dan wisata alam. Termasuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam rangka menunjang budi daya dalam bentuk penyediaan plasma nutfah.

Berikutnya juga untuk pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat yang dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budi daya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.

"Termasuk juga pembinaan populasi melalui penangkaran dalam rangka pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang semi alami," tegas Hendra dalam penjelasannya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement