Kamis 29 Sep 2022 18:48 WIB

Membuang Stigma Negatif dengan Ciptakan Pendidikan Damai di Wilayah Songgoriti Kota Batu

Peserta diajak untuk mengikuti workshop editing video dengan ponsel pintar.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Sejumlah dosen dari FISIP Universitas Brawijaya (UB) melakukan Pengabdian Kepada Masyarakat di Kelurahan Songgokerto, Batu. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini mengusung tema Pendidikan Damai untuk Mempromosikan Budaya Damai bagi Generasi Muda di Kelurahan Songgokerto, Kota Batu.
Foto: Tim Pengabdian Masyarakat FISIP UB
Sejumlah dosen dari FISIP Universitas Brawijaya (UB) melakukan Pengabdian Kepada Masyarakat di Kelurahan Songgokerto, Batu. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini mengusung tema Pendidikan Damai untuk Mempromosikan Budaya Damai bagi Generasi Muda di Kelurahan Songgokerto, Kota Batu.

REPUBLIKA.CO.ID,BATU -- Citra miring yang disematkan terhadap kawasan Songgoriti telah mengakar menjadi stigma publik selama bertahun-tahun. Hal ini karena wilayah Songgoriti dianggap sebagai wisata villa yang legendaris. 

Sektor wisata villa berhasil menjadi mata pencaharian utama bagi warga Songgoriti dalam beberapa tahun terakhir. Namun stigma buruk yang disematkan pada wilayah ini membuat para pemuda setempat merasa gelisah.

Baca Juga

Di sisi lain, aktivitas ekonomi warga yang bertumpu pada sektor wisata villa juga ikut terhantam pada masa pandemi Covid-19. "Dan ini turut menambah kegelisahan pemuda akan masa depannya," kata Dosen FISIP, Universitas Brawijaya (UB), Dian Mutmainah saat dikonfirmasi Republika, Kamis (29/9/2022).

Situasi tersebut mendorong dosen-dosen FISIP UB melakukan Pengabdian Kepada Masyarakat di Kelurahan Songgokerto, Batu. Kegiatan tersebut meliputi tiga lingkungan yakni Songgoriti, Tambuh dan Krajan. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini mengusung tema “Pendidikan Damai untuk Mempromosikan Budaya Damai bagi Generasi Muda di Kelurahan Songgokerto, Kota Batu". Tim pengabdian ini diketuai oleh Dian Mutmainah ang beranggotakan Anton Novenanto dan I Wayan Suyadnya beserta tujuh mahasiswa. 

Dian percaya  perdamaian positif dapat tercipta apabila lingkungan tersebut memiliki harmoni sosial. Setiap orang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya terutama mereka yang hidup dalam kerentanan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan keamanan insani agar dapat membantu mereka mengidentifikasi masalah atau ancaman di lingkungan mereka yang saat ini mengalami kerentanan.

Pada kegiatan hari pertama, tim mengajak masing-masing peserta untuk dapat mengidentifikasi potensi ancaman atau masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Identifikasi masalah ini dilakukan berdasarkan elemen pendekatan keamanan insani. Dalam hal ini dengan cara peserta menuliskan permasalahan yang mereka hadapi.

Setelah selesai, hasil-hasil identifikasi oleh peserta dihimpun dan dikategorikan dengan runtut melalui proses diskusi. Pada diskusi ini diketahui mayoritas para pemuda memiliki kegelisahan terhadap masalah ekonomi. Hal ini karena pendapatan dari villa mulai menurun dan tidak ada pilihan pekerjaan lain sebagai penggantinya.

Selain itu, juga terdapat masalah lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan villa yang masif. Hal ini membuat adanya pencemaran terhadap air, berkurangnya lahan pertanian dan banjir. Lalu jalan menjadi sempit dan tidak ada pembangunan terhadap fasilitas publik.

Ada pun untuk masalah personal, kata Diah, yang menjadi ancaman paling banyak dirasakan oleh pemuda yakni ketakutan untuk mengembangkan diri. Pasalnya, terdapat stigma yang melekat pada diri mereka akibat memiliki tempat tinggal di Songgoriti. Selain itu, mereka juga takut jika tidak bisa keluar dan mendapat pekerjaan yang lain akibat ada beberapa tuntutan orang tua. 

Aspek terakhir yang ditemukan yakni masalah komunitas. Menurut Diah, para pemuda merasa semakin kurang memiliki ruang untuk dapat didengarkan aspirasinya. Kemudian terdapat konflik kelompok, rasa solidaritas pemuda yang menurun hingga ketakutan terhadap keamanan lingkungannya sendiri akibat adanya penyewa villa. 

Melalui identifikasi tersebut, para peserta pun diminta untuk menggambar lingkungan Songgoriti dalam harapan dan keinginan mereka. Setelah selesai menggambar, peserta menempelkan gambar tersebut di dinding yang kemudian salah satu peserta maju ke depan untuk menjelaskan makna dari gambar yang telah di buat. Pada gambar tersebut dijelaskan bahwa pemuda menginginkan lingkungan Songgoriti memiliki fasilitas publik seperti aula, taman bermain, panggung terbuka untuk pementasan seni dan sarana olahraga.

Selain itu, mereka juga menggambarkan lingkungan Songgoriti memiliki sungai yang bersih, perkebunan kopi, rumah-rumah yang tertata rapi dan terdapat lahan pertanian kembali. Mereka juga menggambarkan kelak Songgoriti akan memiliki ikon “SONGGORITI” dalam bentuk huruf timbul yang dipasang di atas Gunung Banyak yang mengitari Songgoriti. Ide ini terinspirasi dari Hollywood Sign yang mana mereka berharap Songgoriti memiliki citra yang baik dan besar ke depannya.

Pada hari berikutnya, peserta diajak untuk mengikuti workshop editing video dengan ponsel pintar. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan kemampuan agar mereka dapat memproduksi video yang menampilkan potensi dan kegiatan kepemudaan di Songgoriti. Kemudian juga dapat menjadi sebuah media untuk menjadi counter terhadap citra-citra buruk mengenai Songgoriti di lingkungan masyarakat. 

"Dan hasil video tersebut akan ditampilkan dan disaksikan bersama-sama pada saat pertemuan ketiga dari rangkaian pengabdian masyarakat pada bulan Oktober 2022," kata dia menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement