Rabu 05 Oct 2022 09:30 WIB

Universitas Brawijaya Ikut Berperan Atasi Kasus Gizi Buruk

Pendampingan terkait stunting melibatkan lebih 800 mahasiswa dan dosen.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Sejumlah ibu menyuapi anaknya dengan makanan yang didapat dari program Gerakan Masyarakat Peduli Anak Stunting (Germas Pas).
Foto: Antara/Didik Suhartono
Sejumlah ibu menyuapi anaknya dengan makanan yang didapat dari program Gerakan Masyarakat Peduli Anak Stunting (Germas Pas).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Universitas Brawijaya (UB) Malpaya ang turut mendampingi masyarakat dalam umengurangi kasus gizi buruk. Hal ini disampaikan Rektor UB Prof Widodo saat membuka acara The 2nd South East Asia Biennial Conference on Population and Health Related to Stunting (SEAA) 2022 di Gedung Samantha Krida Universitas Brawijaya Malang.

Widodo mengatakan, kampus diwajibkan melaksanakan kegiatan Tri Dharma Universitas yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Menurut dia, UB telah melakukan pendampingan masyarakat terkait stunting dengan melibatkan lebih dari 800 mahasiswa dan dosen. "Di sekitar Malang Raya dalam kegiatan KKN Tematik di 2022," kata Widodo.

Selain masalah stunting, UB juga mempersiapkan permasalahan yang akan muncul saat aging population terjadi. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempersiapkan dan mencari alternatif nutrisi dan pangan. Hal ini diharapkan dapat mengurangi berbagai masalah yang menyertai penuaan.

Sementara itu, Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengungkapkan, angka stunting di Indonesia sudah mengalami penurunan dibandingkan tahun kemarin. Berdasarkan data SSGI 2021, angka stunting di Indonesia sebesar 24,4 persen sedangkan di Jatim sebesar 23,5 persen.

Selain masalah stunting, Indonesia juga akan segera dihadapkan pada aging population pada 2035. Lebih tepatnya ketika Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah penduduk lansia dari 18 juta jiwa (7,56 persen) pada 2010, menjadi 25,9 juta jiwa (9.7 persen) pada 2019.

Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat pada 2035 menjadi 48.2 juta jiwa (15,77 persen). Saat terjadi aging population, maka dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) usia produktif yang berkualitas. Hal ini karena terjadinya dependensi rasio yang sangat tinggi.

Menurut dia, usia produktif harus menanggung biaya SDM yang tidak produktif yaitu lansia dan anak usia di bawah 14 tahun. "Kedua unsur SDM ini tidak produktif tetapi membutuhkan biaya yang cukup besar," ungkap Hasto.

Ditegaskan, sangat penting bagi Indonesia untuk menurunkan angka stunting bahkan zero stunting untuk menyambut era aging population tersebut. Sebab, anak stunting termasuk SDM yang kurang bisa bersaing di masa depan. Padahal tugas dan tanggung jawab mereka sangat besar ke depannya.

Ia menambahkan, BKKBN bersama mitra akan terus melakukan berbagai upaya untuk percepatan penurunan angka stunting di Indonesia dengan melakukan upaya pencegahan terjadinya stunting.

Selain itu, BKKBN juga mempersiapkan program pemberdayaan ekonomi usia nonproduktif perempuan, di mana angka lansia perempuan akan lebih besar dibanding lansia pria. Kemudian angka kematian pada kaum pria lebih tinggi daripada angka kematian pada kaum perempuan.

Sementara itu, Head Malaysia Director of Lembaga Penduduk dan Pembangunan Keluarga Nasional (LPPKN), Encik Abdul Shukur bin Abdullah mengatakan, tidak hanya di Indonesia, masalah stunting juga menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Malaysia. Dari data dari Kementerian Kesehatan Malaysia, saat ini kasus stunting di Malaysia masih di angka 21 persen.

Selain stunting, Malaysia juga menghadapi aging population pada 2039 atau lima tahun lebih awal dibandingkan Indonesia. Sementara itu, untuk TFR Malaysia masih di angka 1.7 dengan target pada 2022 menjadi 1.5.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement