Ahad 26 Feb 2023 08:31 WIB

Biaya Haji Naik, Dosen UMM: Masyarakat Butuh Transparansi Dana

Untuk mengantisipasi kecurigaan, perlu adanya penjelasan rinci terkait biaya haji.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Fernan Rahadi
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengikuti rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023). Dalam Rapat tersebut Komisi VIII DPR RI bersama Menteri Agama RI menyepakati Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) atau biaya yang dibayar langsung oleh jemaah haji rata-rata per jemaah sebesar Rp49.812.700.26 pada tahun  1444 H/2023 M.
Foto: Republika/Prayogi.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengikuti rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023). Dalam Rapat tersebut Komisi VIII DPR RI bersama Menteri Agama RI menyepakati Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) atau biaya yang dibayar langsung oleh jemaah haji rata-rata per jemaah sebesar Rp49.812.700.26 pada tahun 1444 H/2023 M.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ketua Program Studi (Kaprodi) Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rahmad Hakim memberikan tanggapan terkait kenaikan biaya haji yang telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebelumnya diinformasikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) naik dari Rp 39,8 juta menjadi Rp 49,8 juta per jamaah.

Menurut Rahmad, setiap negara memang memiliki ketentuan yang berbeda-beda dalam penetapan biaya haji. Dalam Biaya Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH) disebutkan jika sistem lama diberlakukan, dikhawatirkan jamaah tidak bisa memperoleh nilai manfaat yang semestinya di tahun-tahun yang akan datang. "Biaya haji ini naik karena subsidinya diturunkan, karena porsinya keliru," jelas Rahmad.

Rahmad menyebutkan semula 70 persen biaya haji didanai pemerintah. Sementara itu, 30 persen dibebankan pada orang yang akan berhaji. Kemudian untuk saat ini 60 persen dibebankan pada orang yang akan haji sedangkan subsidi pemerintah di angka 40 persen. 

Kondisi tersebut jelas membuat masyarakat menganggap haji ini menakutkan. Pertama, yakni karena biayanya mahal, lalu waktu tunggunya juga jauh dan lama. Selain itu, sisi ketidakpastiannya juga jadi lebih tinggi.

Menurutnya, kebijakan tersebut sah-sah saja karena terkait dengan kebijakan publik. Namun yang patut untuk dikritisi adalah pengumumannya yang terkesan mendadak dan spontan.

Pemerintah seharusnya ada sosialisasi berkelanjutan karena momentum yang ada kurang tepat.  Hal itu tidak lepas dari kondisi pascapandemi Covid-19. Apalagi banyak yang mengalami pemutusan hubungan kerja serta banyaknya harga bahan-bahan pokok yang naik. 

Selain itu, Rahmad menegaskan harus ada transparansi dana kepada masyarakat. Hal ini karena beberapa waktu lalu muncul wacana bahwa ongkos hadi di Saudi turun sebesar 30 persen. Untuk mengantisipasi kecurigaan, perlu adanya penjelasan rinci terkait biaya haji sehingga masyarakat juga bisa tahu nilai manfaat yang akan diterima serta kepastiannya.

Rahmad tak menampik kebiijakan ini memunculkan banyak kekecewaan dari masyarakat. Namun, Rahmad mengingatkan kembali lagi ukuran kemampuan untuk berhaji. Haji hanya dilaksanakan oleh orang-orang dalam kondisi memiliki bekal secara finansial, baik untuk biaya perjalanan maupun biaya keluarga yang ditinggalkan. 

"Pun harus menguasai pengetahuan manasik haji, hati yang ikhlas, sabar, syukur, tawakkal dan rendah hati, serta harus sehat mental dan fisik," ucapnya dalam pesan resmi yang diterima Republika.

Dia tak menampilk banyak masyarakat yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Namun jangan khawatir, jika sudah benar-benar dipanggil, maka Allah akan menunjukkan dan memudahkan jalannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement