Ahad 26 Feb 2023 17:48 WIB

Menengok Keindahan Sisa Peninggalan Kerajaan Singasari di Candi Jago 

Meskipun berada di tempat keramaian, kelestarian Candi Jago tetap terjaga dengan baik

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Fernan Rahadi
Suasana Candi Jago di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Jatim).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani 
Suasana Candi Jago di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Jatim).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Wilayah Malang Raya sarat dengan peninggalan Kerajaan Singasari. Salah satu peninggalannya terlihat dari keberadaan Candi Jago di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.

Lokasi Candi Jago tidak terlalu jauh dengan pusat keramaian Kecamatan Tumpang. Di sekitar candi tersebut, terlihat beberapa bangunan sekolah yang selalu ramai didatangi para siswa. Belum lagi candi tersebut berdiri sekitar 300 meter dari Pasar Tumpang.

Meskipun berada di tempat keramaian, kelestarian Candi Jago tetap terjaga dengan baik. Pagar pembatas terlihat mengitari candi seolah-olah menjaga warisan tersebut dari tangan-tangan jahil. Apalagi pemerintah setempat menyediakan pos penjaga di mana pengunjung harus mendapatkan izin untuk dapat masuk ke tempat tersebut.

Dibandingkan candi-candi lain di wilayah Malang Raya, bentuk Candi Jago relatif unik karena seperti Candi Borobudur. Jika diamati lebih mendalam, bentuk candi tersebut berupa bujur sangkar. Lebih tepatnya, sekitar 23,71 x 14 meter dengan tinggi yang tersisa 9,97 meter.

Candi Jago merupakan peninggalan dari Kerajaan Singasari. Hal ini lebih tepatnya didirikan oleh Raja Kertanegara. Candi tersebut dibangun untuk menghormati ayah Raja Kertanegara, yakni Raja Wisnuwardhana yang wafat pada 1268 Masehi (M).

Nama 'Jago' sendiri berasal dari kata 'jajaghu' yang terdapat pada kitab Negarakertagama. Kata tersebut memiliki makna keagungan sehingga sebutan ini biasanya ditunjukkan untuk tempat suci.

Keunikan Candi Jago terletak pada napas keagamaan yang diwakilinya, yakni Siwa Buddha. Siwa Buddha merupakan perpaduan ajaran Hindu dan Buddha yang berkembang di masa Kerajaan Singhasari. Kondisi tersebut dapat terlihat di bagian kaki hingga atas candi karena terdapat kisah Tantri Kamandaka dan Kunjarakarna (Buddha), serta relief Parthayajna, Arjunawiwaha dan Kalayawana (Hindu). 

Dari segi struktur, candi ini dibangun dengan langgam batur berundak dan terbuat dari batu andesit. Secara lebih rinci, kaki candi berupa batur berundak tiga tingkatan. Kemudian badan candi hanya tersisa ambang pintu sedangkan atapnya telah hilang.

Candi Jago pada dasarnya menghadap ke barat. Kemudian memiliki masing-masing dua anak tangga untuk menghubungkan antartingkat kaki candi. Pada sisi kaki candi terlihat hiasan relief Tantri, Kunjarakarna, Parthayajna, Arjunawiwaha dan Krishnayana.

Candi Jago pernah direnovasi pada masa Kerajaan Majapahit. Hal ini lebih tepatnya dilakukan oleh Adityawarman berdasarkan Prasasti Manjusri yang berangka tahun 1343 M.

Berdasarkan catatan sejarah, candi pertama kali diteliti oleh R.H.T Friendrich pada 1854 M lalu dilanjutkan J.F.G Brumund sekitar setahun berikutnya. Selanjutnya, diteliti oleh Fergusson (1876), Veth, J.L.A Branded (1904) dan Stamford Raffles (1917).

Di samping itu, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jatim dilaporkan sempat melaksanakan studi teknis pada 2015. Langkah tersebut bertujuan untuk melihat kerusakan konstruksi struktur Candi Jago. Adapun Candi Jago resmi menjadi bangunan Cagar Budaya Nasional pada 2016.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement